Perbincangan Hingga Larut Malam di "Dreamland" Tulungagung



TULUNGAGUNG punya vibes seperti Kota Gede Yogyakarta, terutama jalan-jalan lebar di pusat kota dan sekitar alun-alun.

Namun ada juga yang menyebut suasananya mirip Kartasura dan Surakarta.

Saat liburan sekolah tiba, Tulungagung adalah tempat tujuan saya menghabiskan waktu.

Menginap 2-3 hari di rumah Pakde di daerah Blimbing, Rejotangan. Beberapa keluarga besar pun juga tinggal di sekitar Aryojeding.

Saudara-saudara kakek, rumahnya persis di samping Candi Aryojeding, yang terlihat seperti batu berserakan dipagari kawat.

Konon, disitulah lokasi Blitar dulunya, suatu tempat antara  Ngunut dan Sungai Brantas, yang tertulis dalam buku lawas karangan Ki Kartowibowo.

Seiring berjalannya waktu, ada pembagian wilayah dan daerah seberang selatan masuk Tulungagung, seberang utaranya masuk Blitar, dibelah oleh Sungai Brantas.

Tulungagung ibarat dreamland, meminjam istilah D'hobbiton Dokkar Dreamland.

Saya sepertinya punya keterikatan tersendiri meskipun tak tahu bagaimana harus menjelaskannya.

Karena jaraknya yang tak begitu jauh, mudah saja bagi saya untuk--paling tidak--sebulan sekali mengunjunginya.

Apalagi sekarang, ada banyak warung kopi, di dekat sawah, kampus atau di pinggiran Kali Ngrowo.

Harga-harganya pun terjangkau, segelas Kopi Ijo khas Tulungagung kadang hanya Rp3.000,- atau Rp4.000,-.

Kunjungan paling sering ya di Tanen, ke sebuah "istana air" tersembunyi di balik Hutan Kandung.

Sayangnya, terakhir kesana sudah tak begitu terawat, warung-warungnya tutup, kolam renangnya kering terbengkalai, tak ada tukang parkir, area bawah tampak berserakan seperti baru tergempur banjir bandang.

Meskipun airnya tetap biru menawan. 

Karena mulai terbengkali, justru kesan alaminya kembali muncul, begitupun dengan kesan horornya.

###

Menikmati sore hari di pinggiran Sungai Ngrowo adalah sesuatu yang menyenangkan.

Di atas meja tersaji beberapa gelas kopi dan sepiring pisang goreng, dibalut hangatnya perbincangan, semakin malam semakin hangat meski angin kering di bulan Juli memaksa kita membalut tubuh dengan kain tebal.

Tulungagung memiliki banyak oral histories, misalnya tentang sumber air yang melimpah.

Titik-titik sumber air, termasuk Sungai Ngrowo yang artinya juga sumber air. Ngrowo sendiri adalah nama lain dari Tulungagung dahulu kala.

Ada sebuah ungkapan/keyakinan jika Bendungan Sutami Karangkates jebol, Blitar akan menjadi latar (halaman) dan Tulungagung jadi kedung (genangan air yang dalam).

Sebuah pengandaian yang menegaskan jika Tulungagung memang pusat air.

Cerita menarik lainnya seputar habitat Kera ekor panjang/Kra Warek yang ramai di sekitar Jembatan Ngujang dan daerah Bandung, bahkan dianggap fauna khas daerah tersebut.

Meskipun belakangan lebih dikenal sebagai Kota Marmer dan Onyx, mungkin karena berkah dari susunan Pegunungan di daerah Selatan, yang seolah memagari eksotisme pantainya.

Adanya Candi Gayatri juga menjadi jejak historis tersendiri. Tokoh besar dari Kerajaan Majapahit yang namanya terdengar samar, sebatas dikenang sebagai nama Terminal.

Tulungagung adalah dreamland, tanah impian, tanah basah yang memancarkan mata air, warganya hidup dalam angka Indeks Pembangunan Manusia 73,15, dan itu cukup tinggi.

Sedikit lebih tinggi dari Kabupaten Blitar. []

Sabtu, 23 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz
Di Pinggir Kali Ngrowo

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak