Bagi dia, hidup bukan sebuah pilihan


Ilustrasi

San –begitulah orang-orang memanggilnya. Entah namanya Ihsan, Susan, atau yang lain. Saya tidak tahu. Tidak pernah bertegur sapa. Tidak pernah interwiew, atau sekedar menyapa. Bukan karena saya sombong. Tapi San memang tak mudah diajak berbincang. Kendala psikologis yang dialaminya membuat kami susah berdialog.

Saya sudah tahu dia sejak lama. Sejak masih SD. Kami sering berpas-pasan ketika pulang sekolah. Letak sekolah kami berbeda. Saya sekolah di SD Negeri, dan dia di SLB (Sekolah luar biasa) yang letaknya sebelah utara kantor polisi sektor lodoyo. Teman-teman saya, yang tahu keterbatasan mentalnya, sering meledek. Mungkin saya juga pernah ikut serta. Maklum, anak kecil.

Tubuh anak itu kurus, jangkung (untuk ukuran anak SD kala itu). Setidaknya, dia lebih tinggi dari saya kala itu. dan jalannya agak sempoyongan, karena kakinya lumayan kecil. Biasanya saya melihat dia jalan kaki, atau dibonceng Ibunya dengan sepeda jengki.

Setiap kali dia lewat, kadang saya hanya mengamati. Tak tau harus berkomentar apa. Usia saya waktu itu masih belum mumpuni untuk memaknai banyak hal. Termasuk anak SLB yang kerap dipanggil San itu. Tapi dia tak pernah sekalipun jahil. Kalaupun digoda, paling hanya diam. Saya yakin, melawanpun ia tak mampu. Terlalu ringkih. Tubuhnya lunglai, seperti diorama tubuh manusia, yang bisa kita temui di laboratorium IPA.

Kemarin, saya bertemu dia lagi. Sejak saya lulus SD. Masih sama, dengan seragam yang sama, perawakan yang sama, dan wajah yang sama. Wajah anak-anak. Saya juga heran, jika merunut siklus hidup yang normal. Usianya sudah sekitar 22 tahun. Harusnya sudah lulus dari sekolah, kendati itu SLB. Harusnya juga, tubuhnya terus tumbuh, wajahnya menua. Tapi tidak bagi dia.

San masih sekolah di SLB, masih dengan perawakan ringkihnya, masih dengan kendala mentalnya, masih dengan wajah 13 tahun lalu. tak berubah. Kini saya lebih tinggi dari dia.

Harusnya dia sudah lulus SD, lulus SMP dan SMA. Memilih masuk kampus mana, jurusan apa, organisasi apa, hobi apa, dan lain-lain. Apa dia betah mendekam di SLB selama belasan tahun begitu? Saya tidak tahu. Tapi, San memang tak punya banyak pilihan. Sepertinya ia tak harus dipahami sebagai orang kenormalan, yang menjalani hidup berdasar ritme yang teratur, terstruktur, dan terukur.

Bagi San, hidup adalah siklus yang tak harus ia pertanyakan. Ritual pendidikan belasan tahun yang tak perlu ia gugat, dan keadaan diri yang tak melulu ia protes. Barangkali, San tak pernah membuat sebuah pilihan. Keterbatasan mental itu, membuatnya memiliki dunia yang tak perlu diganggu, tak perlu diteorikan secara ilmiah, dan tak perlu resolusi temporal.

San --begitulah adanya. Anak kecil yang tak beranjak dewasa. Usia tua yang terperangkap dalam mental balita.

Melihatnya, ada rasa iba. Tetapi, San tak nampak sedikitpun menderita. Penderitaan adalah konsep yang dimiliki oleh orang normal. Bagi dia, tak ada penderitaan. Vis a vis dengan kehidupannya yang tak punya banyak pilihan, selain menerima hidup apa adanya.

Dalam perenungan tersebut, tiba-tiba saya merasa bahwa hidup ini adalah sebuah siklus yang harus kita syukuri. Kita masih bisa memilih, membuat alur hidup kita beberapa tahun kedepan, mengejar cita-cita, impian ataupun hasrat duniawi lainnya.

Alhamdulilah. Terima kasih, San!

20 November 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak