Ritus Kesunyian (7)



***
          Bu Mira ingin menyampaikan sesuatu pada Awan, ini erat kaitannya dengan Egar, siswa baru itu. Ia pun juga menjelaskan banyak hal kepada Awan, beserta rencana besarnya.
          “Apa, kenapa harus saya Bu?” protes Awan.
          “Karena hanya kamu yang bisa,” tegas Bu Mira.
          Awan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Bu Mira barusan. Ini bukan tugas yang mudah, apalagi bagi dirinya yang tidak terlalu memahami keadaan yang sebenarnya.
          “Kamu memiliki sikap yang tidak dimiliki anak itu, Ibu yakin kamu bisa,” lanjut Bu Mira.
          Awan menghela nafas, dari sekian banyak permintaan Bu Mira, mungkin inilah permintaan yang paling sulit baginya. Terlebih karena dia bukan orang yang memiliki kemampuan untuk berdebat dengan orang lain.
          “Saya bukan orang yang tepat Bu, saya tidak punya keahlian jika dia mengajak untuk berdebat, saya tidak sejenius dia,” Awan masih bimbang menentukan keputusan.
          Bu Mira tersenyum, ia duduk dikursinya dan mengamati wajah Awan.
          “Tidak perlu kata-kata, kamu cukup melakukannya secara alami, Insyaallah itu sudah cukup. Ibu sangat percaya padamu,” Bu Mira meyakinkan Awan.
          Tapi Awan masih ragu, meskipun Bu Mira berulangkali menyakinkannya.
          “Saya tak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menjalani kehidupan seperti itu, Bu,” ucap Awan sambil menundukkan kepala.
          Bu Mira membenarkan duduknya, sambil memandang sebuah lukisan abstrak yang terpampang di kantornya, ia berujar.
          “Itu adalah kenyataan yang harus ia jalani, dan kamu memiliki peluang besar untuk menyelamatkannya. Karena kamu telah membuktikannya kepada Ibu, tentang bagaimana caramu memandang kehidupan ini.”
          Awan memandang wajah Bu Mira, terlihat raut kekhawatiran yang mendalam. Baru kali ini Bu Mira benar-benar memasang wajah kalut, padahal yang ia kenal, Bu Mira adalah sosok perempuan tangguh yang tegas dan lincah, terlebih ketika memimpin sekolah ini. Mungkin saja ada rahasia besar dibalik sikapnya selama ini, termasuk tentang kepeduliannya kepada Egar, siapa Egar sebenarnya?
          “Lalu, kenapa saya harus melakukan ini semua? Dan siapa Egar? Kenapa Ibu sampai mau melakukan ini?” tanya Awan.
          Bu Mira tersenyum tipis, sambil berkaca-kaca dia mulai menjelaskan sesuatu kepada Awan. Perbincangan itu semakin emosional. Awan akhirnya mengetahui sebuah kenyataan yang tak pernah ia dengar selama ini dari Bu Mira, termasuk tentang masa lalu Bu Mira yang berliku-liku.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak