Entah berapa kali muncul ajakan ngopi untuk membahas Musycab. Baik dari internal maupun eksternal. Bahkan beberapa bulan sebelum musycab digelar, diskusi itu sudah berlangsung. Dan seperti biasanya, ngopi larut malam bahkan menjelang pagi. Hal yang sebenarnya sangat melelahkan dan sia-sia karena hanya membahas satu agenda momentual dan tidak jelas rimbanya : politik, formatur, jabatan strategis, jaringan, dll. Dibumbui dengan isu ideal berupa pembaharuan sistem, budaya, pemerataan komisariat, politik nilai dan sejenisnya yang terkadang terdengar klise dan omong kosong.
Kenapa? Karena betapapun kerasnya perjuangan didalam PC IMM Malang, pada akhirnya kepentingan politik atau agenda politik selalu mendapatkan porsi lebih dan sangat berlebih. Untuk itu, jika buta peta politik, lebih baik mundur teratur, daripada terombang-ambing di dalam perahu yang bergelombang dengan pengemudi yang ugal-ugalan pula, yang ingin melabuhkan perahu ke pulau yang masih absurd bentuknya.
Itulah kenapa dalam beberapa kesempatan ngopi semacam itu, saya lebih memilih tidur, menonton film, atau membaca buku. Daripada ngalur-ngidul membahas plus minus kepemimpinan cabang, peluang suara untuk formatur, hingga perubahan sistem yang mungkin terjadi. Saya boleh jadi terlampau realistis, atau justru terlalu naif. Meskipun tidak serta merta antipolitik, tapi seharusnya porsi pembahasan politik tidak sebesar itu. Ada hal lain yang sebenarnya butuh perhatian lebih.
Misalkan tentang jejaring alumni (Fokal IMM) yang tidak kunjung beres. IMM sudah tertinggal jauh dengan KAHMI dan IKAPMII. Pun juga tentang tradisi keilmuan, Tim Riset dan Tim Kepenulisan yang terseok-seok, sistem perkaderan yang tak juga tuntas. Jangankan untuk membuat kurikulum perkaderan yang efektif dan efisien, masalah ideologi pun mengawang-awang. Belum lagi soal gerakan dakwah yang entah berbentuk apa, keterbelakangan dalam penguasaan media massa, dan masih banyak lagi.
Agenda momentual semacam musycab, musda, muktamar dan tanwir menjadi agenda yang menarik perhatian dan prestisius dibandingkan agenda lain dibawah bidang RPK, TK2, Immawati, dll. Tidak hanya soal antusiasme kepesertaan, melainkan juga soal pembiayaan. Contoh riil saja. Dana 5 juta bisa cair untuk acara tanwir di Makassar, hanya untuk satu orang. Sementara dana 1 juta seretnya minta ampun ketika ada agenda workshop kepenulisan, biaya penelitian dan penerbitan Jurnal. Padahal itu untuk kebutuhan banyak orang, plus juga agenda temporal dalam rangka membangun budaya.
Beragam rekomendasi boleh-boleh saja dititipkan di sidang komisi, para peserta musycab pun juga boleh bersilat lidah menyuarakan gagasan untuk perbaikan atau masa depan yang baik demi IMM Malang raya kedepan. Tapi setelah Musycab ditutup, formatur terpilih, pimpinan Cabang terbentuk. Mentok. Rekomendasi kadang-kadang hanya tinggal hiasan. Dijalankan atau tidak, tergantung siapa yang menduduki bidang dan akan melaksanakan rekomendasi tersebut. Andaipun tidak dilaksanakan, tidak akan ada sanksi organisasi. Paling-paling hanya diprotes saat Musycab dan sekali lagi, itulah budaya omong kosong itu.
Karena itulah, ketika Musycab menjelang, datang sms dari beberapa teman yang mengajukan ajakan/pertanyaan klasik : Ayo ngopi! Gimana musycab? UIN ada calon PC1? Gimana kondisi non PTM? Dan saya hanya bisa menjawab : tidak tahu. Atau lebih tepatnya tidak mau tahu. Karena posisi saya bukan lagi siapa-siapa. Bukan pengurus Cabang, apalagi kader aktif. Posisi saya hanya domisioner, atau mentoknya adalah kader biasa. Tidak mungkin juga menjadi peserta musycab atau bahkan formatur. Tentu saya sadar diri.
Apa saya benci? Tidak! namun saya merasakan betul betapa lelahnya melakukan komunikasi politik semacam itu. Betapa lelahnya terlibat friksi politik semacam itu. mulai dari isu cabang baru, dalam arena Musycab 2013 hingga pada akhirnya berhasil mengangkat nama IMM UIN dan juga IMM non PTM pasca pemilihan formatur. Sekilas memang nampak membanggakan dan menggiurkan, tetapi kalau kita sudah siuman –bahwa yang kita lakukan ini adalah gerakan politik—pada akhirnya semua itu akan bias kembali.
Beberapa yang menghubungi saya untuk mengajak ngopi itu adalah satu angkatan : 2009. Seharusnya angkatan 2009 sudah tak perlu cawe-cawe lagi. Sudah tua. Tidak perlu lagi maju sebagai calon formatur apalagi berharap menjadi ketua Cabang. Sudah saatnya regenerasi.
Pun ketika saya memilih untuk tidak peduli lagi dengan Musycab, tidak mau diajak ngopi, bukannya tidak peduli lagi dengan IMM. Tapi masanya sudah berbeda. Begitu pun ketika saya resign dari PC IMM Malang pada bulan maret 2014 lalu, semakin nampak jika politik memang terlalu menghegemoni setiap kebijakan di internal PC IMM Malang. Bahkan Tim Riset yang baru terbentuk, dan belum apa-apa, juga ikut-ikutan dijadikan jualan politik bahwa PC IMM Malang berhasil membangun tradisi keilmuan. Dibicarakan dimana-mana. dan siapa yang akhirnya tersandera oleh pencitraan tersebut? Tidak lain adalah Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan. Padahal Tim Riset baru terbentuk dan belum apa-apa. Toh, kolektif kolegial dalam membangun Tim Riset juga tidak ada. Jangankan untuk meneliti, mengisi Blog Keilmuan saja hampir tidak ada yang sempat.
Sontoloyo sekali. Satu pihak menjalankan politik marketing, tapi pihak yang lain disuruh banting tulang untuk memajukan sebagaimana yang dia marketingkan. Nalar semacam ini tentu tidak etis. Untuk itulah hampir tidak ada program temporal yang tuntas di internal PC IMM Malang. Kecuali hanya program rutinan semisal LID, DAM, Dikpolnas, serta sederet ritual hirarkis seperti pemilihan ketua korkom, mengisi dan menutup acara yang diselenggarakan komisariat, dll.
Politik itu nampak prestisius di awal. Namun selanjutnya menjadi biasa bahkan tak menarik. Untuk itu, jika berada di PC IMM Malang, harus punya visi yang jelas dan terarah. Jangan sampai hanya menjadi ‘tumbal’ kebijakan atau sekedar follower buta. Saya memilih resign sebagai sikap. Terlepas mau disebut pengecut, naif, tak amanah dan sebagainya.
Karena daripada terjadi ‘perang internal’ yang membuat perahu terseok-seok, berlubang dan karam di tengah jalan. Mending mundur teratur sebagai wujud perdamaian diri. Tapi saya tetaplah kader IMM, dan saya banyak belajar di dalam Ikatan ini. Ketika disebut tidak lagi peduli dengan IMM, jujur saja, sakitnya tuh disini. Dan tiap kali mendengar statement tersebut, disitu kadang saya merasa sedih. (*)
28 Februai 2015
A Fahrizal Aziz
Tags:
IMM