Hujan-Hujanan


ilustrasi

Ini bukan hari pertama hujan, ini adalah hari ketiga. Tahukah kamu? Betapa indahnya hujan yang dimulai dengan gerimis rintik-rintik itu? tetesan air menyentuh ubun-ubun kepala, serasa ada kesejukan yang membuat kendur saraf yang tegang. Fredy, masihkah kau duduk disini menemaniku? Sampai hujan benar-benar turun menderas?

Kau tersenyum. Ku lihat rambutmu sudah mulai basah oleh rintik hujan. Aku pun tersenyum, memang syahdu berdua seperti ini. Romantisme tingkat tinggi, diiringi lagu kerinduan ; yaitu rintik hujan. Fredy, masihkah kau percaya dengan apa yang aku ungkapkan semalam? Tentang perasaan yang tak menentu.

Atau tentang perang logika yang tak kunjung usai? Kau hanya tertunduk, ingin sekali kurangkulkan tangan ini dipundakmu. Namun, rasa itu terhenti seketika, karena sepertinya ada sesuatu yang lain yang aku belum mendapatkan jawaban darimu.

“Benar, Ra. Tuhan menciptakan dua jenis manusia. Tapi Tuhan tidak menciptakan dua jenis rasa,” ungkapmu.

“Kau mulai paham?” tanyaku dengan serius.

“Aku memahami itu secara tekstual, tidak memahami sesungguhnya. Kau tahu kan maksudku?”

“Sudah kutebak, Fred.”

Suasana diam kembali, namun rintik hujan kian menderas. Suara itu mengiringi keterdiaman kita. Aku menunduk, begitu pula kau. Sesaat bersamaan kita saling menolehkan pandangan, kita saling menatap, melempar senyum.

“Memang berat menyampaikan ini, Fred. Akupun juga tak paham dengan yang aku katakan, sebuah teori yang melawan rasionalitas umum.”

“Tapi aku sudah mendengarnya kok, Ra.”

“Kau pasti tertawa mendengarnya, bukan?”

“Aku akan tertawa jika memang rasa itu asli ciptaanmu sendiri.”

“Hah, kau gila. Kalau aku boleh memilih, aku tak akan memilih ini Fred. Apa kau pikir mudah melalui kehidupan dengan memendam rasa yang berlawanan?”

“Ra.”

“Iya.”

“Apa kau ingin segera tahu jawabannya?”

“Hmm... entahlah, tapi kau sudah sering hadir dalam kesunyian, Fred. Tahukan kau akan hal itu? maafkan aku ya. Aku tak mungkin berterus terang tentang ini semua.”

“Tapi kamu sudah menyatakannya, Ra. Sekarang apa kau tak ingin jawaban dariku?”

Aku terdiam lagi. Berat memang mendengarkan hal itu, karena aku tahu betul keadaan ini. aku sudah memilikinya selama 20 tahun lebih. Aku tak ingin ini menjadi penyesalan, karena aku tak pernah meminta.

“Terserah kamu, Fred.”

Aku serius menyimak kata-kata darimu, kulirik kau tengah menghela nafas panjang. Apa kau juga susah mengutarakan itu? sebenarnya bagaimana perasaanmu, Fred? Jujur saja aku khawatir dan terus bertanya-tanya. Dua jawaban yang akan berbeda jauh, antara kebahagian dan kesakitan. Mana yang akan kudengarkan?

“Ra, aku... aku..... “ kau juga kikuk.

“Ra.”

Aku menoleh ke arahmu. Samar-samar wujudmu menghilang, suaramu tergerus derasnya hujan. Ah, aku sudah mengira Fred. Kau tak pernah hadir dalam realita ini. Aku jadi tertawa sendiri. Ini bukan untuk pertama, mungkin sudah ke berapa puluh kalinya, kau hadir dalam kesunyianku. Fredy, akankah kita hujan-hujanan berdua? Ah, romantisnya.

Aku pun memejamkan mata. Berharap Tuhan mengembalikanku dalam kehidupan yang sebenarnya, kehidupan yang hanya ada dua pilihan. Bukan tiga, empat atau lima.

A Fahrizal Aziz
Blitar, 20 11 13

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak