Memulangkan masa lalu



“Nam, masa lalu itu telah pergi, ibarat manusia, ia telah menjadi jasad, tak ada gunanya berharap,” ucapku.

“Tapi, ia masih ada, bukan?” jawabmu.

Aku menoleh, memandangi sudut matamu yang membentuk kaca air. “tapi ia tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa untuk kita sekarang.  Berhentilah berbicara tentang masa lalu, jika kau tak ingin mati berkalang rindu.”

“Kau Jahat,” suaramu meninggi,”Masa lalu lah yang membentuk kita sekarang ini. begitu kejamnya jika kita harus mengubur masa lalu itu. itu sama saja kita membunuh janin kenangan, begitu besar dosanya.”

“Dosa?” aku tertawa getir, ini sebuah lelucon klasik yang sering kudengar,”Tau apa kau tentang dosa dan masa lalu? justru masa lalu itulah yang akan menjerumuskan kita pada dosa-dosa yang kian pekat.”

“Aku tak habis pikir dengan pola pikirmu akhir-akhir ini, menurutku kau begitu bengis. Kau amnestis, kenapa Tuhan masih membiarkanmu hidup? Harusnya kau mati saja,” kau mulai menyerangku.

“Nam. Lebih baik aku hidup dalam realita, daripada hidup dalam utopia. Jasad kita memang ada sekarang ini, tapi apa bedanya kita dengan mayat jika kita terus-terusan menjelmakan masa lalu itu? masa lalu itu telah hilang, terkubur dalam kesunyian.”

“Son????” airmatamu tertumpah,”Begitu jahatnya dirimu, janin itu... janin itu....”

“Nam. Kalau begitu, tunjukkanlah aku satu hal tentang wujud masa lalu itu. Mana? Tidak ada bukan? Pulangkan saja ke tempat asalnya, jangan diusik dan jangan diingat-ingat.”

“Son. Bagimu ini memang tak berharga, tapi.... tapi bagiku ini adalah sebuah nyawa yang membuatku hidup selama ini.”

Aku terperangah. Kau mendekap sebuah pigora hitam berisi foto itu.. ha? Foto itu... kau masih menyimpannya?

“Son. Pergilah, dan jangan usik masa laluku. Aku akan terus bersamanya. Janin... ini.. janin kenangan ini akan aku besarkan sendiri, sekalipun hanya akan kubesarkan dalam bayang-bayang.”

“Nam....”

“Son. Pergilah.. pergilah.. pergilahhhhhhhh,” kau berteriak histeris, airmatamu kian mengucur deras.

Aku terdiam. Kulangkahkan kaki pelan-pelan, terdengar rintihmu. aku pun tak menghiraukan lagi. Tak mungkin aku terus kau ajak dalam utopia masa lalu itu. sudahlah, pulangkan saja, atau kalau perlu, kau bunuh saja!


Malang 8 11 13
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak