simple |
Siapa bilang keterbatasan selalu membuat kita menderita? Pertanyaan itu berulang kali menggempur pikiran saya berhari-hari. Terutama ketika melihat dua fenomena yang kontras, antara di kaya yang jenuh hidupnya, dan si ‘miskin’ yang selalu nampak ceria. Meskipun saya sendiri berada ditengah-tengahnya.
Bermula dari seorang teman yang lahir dari keluarga kaya raya, dengan fasilitas serba ada, dan hampir segala yang ia inginkan terwujud. Mulai dari membeli ponsel keluaran terbaru, fashion model terbaru, nongkrong di cafe mahal, traveling ke berbagai kota dan bergonta ganti pasangan asmara. Apa yang kurang darinya?.
Kendati demikian, ia tak jarang mengeluh kepada saya. Mengeluh soal hubungan dengan pacarnya, mengeluh perihal menipisnya uang bulanan yang telah dihambur-hamburkannya, dan segudang keluhan lainnya. Kenapa kamu tak mau bersyukur? Gerutu saya suatu waktu padanya.
Pasalnya, saya pernah bertemu dengan seorang teman yang hidup apa adanya. Ia tinggal disebuah kamar kos yang kecil, sempit, lembab dan cat temboknya nyaris terkelupas. Ia harus berjuang ekstra agar perutnya tetap kenyang, kuliahnya berjalan lancar, dan aktivitas padatnya sebagai mahasiswa tak terganggu. Jika berjumpa dan berdiskusi dengannya, serasa ada sisi nurani yang tertohok. Dia saja bisa seperti itu, kenapa kamu tidak? bisik hati saya.
Secara sadar, saya telah lama memulai hidup sederhana. Sederhana berbeda dengan kekurangan, meskipun hidup dalam kekurangan memang mengharuskan kita berlaku sederhana. Makan sederhana, berpakaian sederhana, bersikap sederhana, dan berfikir sederhana. Susah? Iya. Tetapi seperti ada suatu kepuasan tersendiri.
Untuk makan pokok, saya tak pernah lebih dari dua kali sehari, dan itupun tak selalu nasi. Kadang roti, semangkok mie atau sereal. Dan sudah sejak tujuh tahun lalu, saya tak pernah makan kenyang. Itulah kenapa, ketika makan diwarung, saya sering menyisakan nasi. Tak baik memang, tapi saya takut kenyang, dan tak mungkin juga sisa nasi itu disimpan. Kadang saya meminta penjual untuk memberikan separuh saja agar bisa saya habiskan.
Pun ketika berbuka puasa, ketika hasrat perut tengah berada dipuncaknya untuk menyantap menu makanan. Saya berusaha semaksimal mungkin untuk menekan hasrat itu, berlaku sederhana dengan mengisi piring separuhnya. Kenapa? Saya takut kenyang.
Yang lain adalah tentang fashion, tak pernah saya mengikuti trend. Harga baju pun juga tak mahal-mahal amat. Tak ikut brand, tak update, dan tak terlihat necis. Biasa saja. Saya yakin bahwa karakter seseorang tercermin dari caranya berpakaian. Orang yang fashionable biasanya fluktuasi hidupnya tak ketulungan. Orang yang berpakaian rapi, biasanya tipikal yang formal, serius, dan disiplin. Yang pakaiannya acak-acakan, biasanya tipikal yang bebas berfikir dan susah diatur dalam bersikap. Contohnya anak-anak punk.
Mereka yang berpakaian simple/casual. Tercermin dari sikapnya yang sederhana. Saya ambil contoh Dahlan Iskan yang lekat dengan baju putih, celana hitam, dan sepatu ketz. Sederhana memang tak selalu berkorelasi dengan kemiskinan, kadang itu adalah pilihan hidup.
Yang susah adalah, ia miskin tetapi selalu ingin berpakaian trendi seolah orang kaya. Akhirnya berhutang sana-sini, menjual apa saja yang bisa dijual, untuk mewujudkan keinginan pribadinya tersebut. Itu tak realistis. Betapa banyak hal itu terjadi dengan anak-anak muda kita.
Dan ternyata, berlaku sederhana dalam hidup tak mengurangi sedikitpun kepuasan kita. Justru ada satu sisi yang menggembirakan. Dimana kita mampu berempati dengan banyak orang. Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita bisa berhemat karena hidup sederhana dan tak terprovokasi oleh sifat hidup yang serba mahal. Ada satu kepuasaan dimana kita bisa mempertahankan karakter diri sendiri ditengah gempuran budaya yang merajalela.
Ada satu ketentraman ketika kita bisa menahan diri untuk berlaku berlebih-lebihan. Dari dua pertemuan itu, saya mendapatkan banyak makna, bahwa sekalipun teman saya yang kaya raya itu mampu hidup serba mewah, tak akan bisa menandingi kepuasaan hidup yang dirasakan si miskin.
Dan juga, tak semua orang yang disebut miskin itu selalu menderita sebagaimana bayangan kita. Mereka punya kebahagiaan tersendiri. Bahkan, tak sedikit si miskin itu justru merasa kasihan dengan orang kaya yang menghabiskan banyak uangnya demi mempoles fisik dan urusan perut.
Kesederhaan bukan sesuatu yang salah, justru jika dihayati betul-betul, kesederhaan adalah sebuah nikmat tersendiri. Kenikmatan yang senyatanya bisa kita nikmati.
11 Ramadhan 1435 H
A Fahrizal Aziz
Tags:
Spirituality