smart |
“Ada orang pintar, tapi tidak menyenangkan.”Kalimat dari Prie Gs itu saya renungkan berhari-hari. Dalam acara talk show itu, Prie Gs membahas tentang kemampuan olah pikir dan olah rasa. Ada orang yang sukses olah pikir, tapi gagal dalam olah rasa. Akhirnya kepintarannya tidak menyenangkan orang lain.
Menarik untuk disimak, selama ini kita banyak menemui orang pintar. Pintar berargumentasi, wawasannya luas, atau karena pengalamannya yang banyak. Tidak sedikit dari kita, tatkala berada disamping orang-orang pintar ini, merasa terintimidasi, merasa tersaingi, dan mungkin saja merasa tidak lebih pintar.
Namun ada juga, orang yang pintar tapi menyenangkan. Kelihaiannya berkata-kata, wawasan luas yang dimilikinya, serta kemampuan menganalisis wacana, membuat orang lain merasa nyaman dan tercerahkan. Orang-orang ini, sekalipun memiliki kepintaran, tapi menyenangkan banyak orang.
Menurut Prie Gs, ada banyak orang yang sukses olah pikir. Sukses olah pikir itu bisa dibuktikan dengan kepintaran logika yang dimiliki. Ia banyak membaca buku, serta menganalisis wacana. Namun setiap kali bertemu orang, ada rasa seolah-olah ia paling pintar. Ia paling cerdas dari yang lain. Sehingga orang lain merasa tidak nyaman.
Saya sering sekali mengalami kondisi seperti ini. Dulu, dalam sebuah forum diskusi lintas organisasi, ada seseorang yang ketika diskusi, seolah-olah mengetes kemampuan peserta diskusi lain. Ia berulang kali menanyakan ayat-ayat, buku bacaan, dan sejenisnya. Ketika yang lain diam, lalu dia berkata : masak begitu saja tidak tahu. Makanya banyak-banyak membaca donk.
Saya agak kesal diperlakukan semacam itu. Mungkin saja, apa yang ingin ia sampaikan sudah ia persiapkan sebelumnya. Lagipula, gelagat merasa paling pintar dari yang lainnya begitu terlihat. Tak salah ketika diskusi, banyak peserta lain yang menggerundal.
Dalam arena kongres misalkan, biasanya banyak sekali faksi-faksi. Disanalah, peserta dari faksi A, berupaya semaksimal mungkin untuk membantah logika faksi B. Bantah membantah itu terlihat seperti menunjukkan eksistensi. Bahwa saya yang paling paham statuta, bahwa logika saya yang paling benar. Padahal, argumentasi yang diajukan di arena kongres kadang tak lepas dari kepentingan golongan.
Namun ada juga orang yang sukses olah pikir tapi juga sukses olah rasa. Orang-orang seperti ini, memiliki kepintaran yang sama dengan yang sukses ahli pikir. Tapi ia menyenangkan banyak orang karena mampu mengolah rasa sehingga orang yang diajaknya diskusi, tidak merasa terintimidasi, tidak merasa di test, tidak merasa bodoh. Justru kehadiran orang-orang seperti ini begitu menyenangkan, menyejukkan, dan menginspirasi.
Saya pernah juga mengalami hal ini. Dahulu, ketika wawancara dengan salah seorang Profesor yang sudah sepuh. Saya tahu jika beliau pintar, wawasannya luas, tapi saya merasa nyaman sekali. Pernah juga saya memiliki seorang teman, dia sastrawan, usianya seumuran. Teman-teman kuliahnya, bahkan dosennya sangat mengakui kecerdasan anak ini. Namun setiap kali diskusi dengannya, saya merasa nyaman dan merasa setara. Apalagi, dia mampu mengolah suasana sehingga dia tidak terlihat lebih pintar, dan saya tidak merasa lebih bodoh darinya.
Orang yang sukses olah pikir dan olah rasa, biasanya sosok yang terbuka. Dia tidak pernah merasa paling pintar, sekalipun wawasannya lebih luas dari orang lain. Kehadirannya bisa melengkapi, bukan justru mengintimidasi. Saya tertarik sekali dengan dua istilah ini.
Orang yang ahli olah pikir, biasanya pandai berdebat dan menjatuhkan lawan. Namun yang ahli olah rasa, ketika berdialog –sekalipun terjadi perdebatan—tidak ada yang merasa kalah, meskipun dia telah memenangkan perdebatan. Itu dikarenakan, ahli olah rasa mampu memilah kata-kata yang bijak, dan menampakkan ekspresi persahabatan yang hangat dan menyejukkan.
Semoga kita tidak hanya ahli olah pikir, tapi juga mampu berolah rasa.
Blitar, 21 Mei 2014
A Fahrizal Aziz
Tags:
Spirituality