Rasa yang terpendam dan hilang


lost

Kadang tak perlu seperangkat alasan untuk membuatku berkata “suka” atau jangan-jangan, memang tak ada kata yang mewakili alasan-alasan tersebut. Semua itu, mengalir begitu saja. Dalam perjumpaan yang tak disengaja, dalam perbincangan yang penuh canda tawa, atau dalam moment-moment khusus dimana salah satu diantara kita saling membutuhkan sebagai seorang pendengar dan penutur. Yang jelas, segalanya seperti mengalir begitu saja. Tak ada rencana atau alasan khusus untuk menuju suatu kata bernama “suka” atau “cinta”. Entahlah.

Di musim ajaran baru 2004-2005, kita bertemu, mengenal dan menjadi teman. Kita sering menghabiskan waktu di perpustakaan bersama, berbicangan masalah novel terbaru, membeli es krim 1000rb-an yang lucu itu, hingga belajar matematika yang menguras hampir separuh tenaga. Semuanya berjalan begitu saja, seperti air yang tak jelas muaranya, hingga segalanya berubah ketika awal tahun 2006. Saat kita bersama-sama make a wish di tengah malam, membuat resolusi terbaik untuk masa SMA yang sebentar lagi kita lalui. Dan kau bercerita ... bahwa ada seseorang yang telah mengisi hatimu, dan ternyata itu bukan aku.

“Dia adalah anak kelas unggulan dan sangat menarik,” jelasmu saat itu, yang sejurus kemudian membuat akupun tersenyum sumringah. Ikut senang dengan apa yang kau alami. Meski rasa senang itu tak bertahan lama, hanya beberapa hari ketika kita tak lagi sesering dulu pergi ke perpustakaan, membincang novel-novel, dan beli es krim bersama. Seperti ada sesuatu rutinitas yang hilang, lambat laun aku merasa sangat kesepian.

Keadaan itu berjalan alamiah hingga pemerintah mengumumkan kelulusan dan kita berhasil lulus ujian nasional dengan nilai tak jauh berbeda. Aku hanya kalah di soal matematika. Bahkan, ketika kau memutuskan untuk melanjutkan SMA ke luar kota, belum sempat aku mengucapkan selamat atas kelulusan itu, kau sudah hilang entah kemana. Aku datang ke rumahmu, dan Ayahmu bilang kau sudah sibuk mempersiapkan segalanya di luar kota sana. Kesepian itu semakin menjadi-jadi.

Aku pun memilih meneruskan SMA di Kota ini. Namun kabar darimu selalu aku nanti, berulang kali aku pergi ke wartel dan menelepon rumahmu, namun jawaban selalu sama : kau tak di rumah, sedang belajar di luar kota. Sampai datang era teknologi, dimana aku sudah boleh memiliki hp sendiri. Namun sayangnya, aku tak tau nomormu, dan selama satu tahun terakhir, aku juga mulai mencari rutinitas baru agar benar-benar terlupa denganmu.

Hingga pada suatu sore di tahun 2008, ketika aku mendengarkan saluran radio kesayangan, dan penyiar favoritku –Mbak Ocha Sharma—membacakan pesan, aku terkesiap mendengarkan namamu yang mengirimkan pesan untukku. “... Kepada sahabat baikku, Fahri. Apa kabar kamu? By Sabrina ...” apakah Fahri itu adalah aku? Dan Sabrina itu adalah kamu? Jika bukan, bagaimana mungkin ada dua sahabat dengan dua nama yang mirip? Oh Sabrina.

Lalu, akupun mencoba on air melalui radio itu, namun seperti biasa, tak mudah. Jeringan terlalu sibuk. Akhirnya bisa tersambung juga, namun melalui off air. Melalui off air aku berkirim pesan ke kamu dan dengan beraninya aku mengekspose nomerku. Dengan harapan kamu bisa langsung mengirimkan pesan ke ponselku.

Beberapa pesan masuk dan semuanya bukan darimu. Hingga pada malam hari, sebelum tidur, tiba-tiba sebuah sms mendarat ke ponselku “...Fahriiiiiii...” aku balas segera, meskipun tarif per smsnya Rp350,- “..Iya, ini siapa ya?” dengan lekas kau menjawab “...Aku Sabrinaaaa...” membaca balasan sms itu, membuatku seperti terguyur air es, segar dan menyejukkan. Setelah sekian lama, akhirnya kita bisa berkomunikasi lagi, Sabrina.

Pada waktu liburan, kita bertemu setelah setahun lebih berpisah. Kau nampak lebih fashionable dan lebih smart. Kau menjelaskan aktivitasmu disana, sebagai siswi diluar kota dan tentunya sebagai Sabrina yang kini. Entah kenapa, pertemuan itu menjadi agak formal dan canggung. Meski berulang kali, baik kau dan aku berinisiatif mencairkan suasana.

“Oh ya, sudahkan ada seseorang di hatimu?” kau meluncurkan pertanyaan yang membuatku kikuk.

“Oh.. hmm.. bel... belum. Belum. Kalau kamu gimana, Na?” aku membalik pertanyaan.

“Insyaallah,” jawabmu dengan senyum manis sambil memperlihatkan sesuatu yang terpasang indah di jari manismu. Tanpa kau menjelaskannya lebih lanjut, aku paham dengan hal itu. Ya, aku paham. Kau telah bertunangan, bukan?

Ingin aku meminta banyak hal padamu, Sabrina. Bisakah kita pergi ke perpustakaan bersama seperti dulu? Atau, bisakah kita berbincang banyak hal soal Novel? Dan bisakah kita makan es krim berdua seperti dulu lagi? Sabrina. Tapi aku tahu jika itu adalah pertanyaan bodoh dan kekanak-kanakan. Karena kau tentu berbeda dengan saat kita masih SMP dulu, bukan?.

Akhirnya, aku tahu jika masa lalu tetaplah masa lalu. Ia bisa dikenang, namun tak bisa berulang. Masa lalu akan tetap statis, tak berubah. Dan manusia, adalah mahluk yang dinamis, ia bisa berubah seiring waktu karena keadaan dan rutinitas. Dengan egoku, aku bisa saja melabelimu banyak hal. Namun ada saatnya kita memang harus menerima perubahan itu sebagai suatu siklus yang alamiah.

Karena bagaimanapun juga, perasaan adalah respon dari keadaan. Dan perasaan pun mungkin bisa juga berubah, seperti halnya sebuah masa. Sabrina, dengan egoku, aku ingin memilikimu seutuhnya. Tak sekedar menjadi teman, tapi lebih. Bahkan kalau perlu, melalui ikatan yang lebih serius. Tapi apakah dengan memaksakan ego ini aku bisa mendapatimu sebagai Sabrina yang seutuhnya? Karena ada saatnya perahu berlabuh, ada saatnya pula ia berlayar.

Jika aku adalah perahu, apakah kau menjadi pelabuhannya? Atau kau yang menjadi perahu dan aku yang menjadi pelabuhannya. Tidak. Kita adalah perahu yang kadang bisa berlayar dan berlabuh. Sementara pelabuhan, adalah sebuah wadah bernama ikatan. Mungkin saja kita yang sama-sama tengah berlayar, akan bertemu di pelabuhan yang sama, atau bisa juga kita memiliki pelabuhan kita masing-masing, karena rute berlayar kita yang memang berbeda.

Selama ini, aku meyakini bahwa rute berlayar kita memang berbeda. dan sekalipun suatu ketika kita terhenti di pelabuhan yang berbeda, aku akan tetap bersyukur karena kita pernah bertemu dalam sebuah persimpangan. Dan aku menuliskannya dalam sebuah cerita yang indah, bukan melodrama patah hati cengeng. Karena aku tak pernah merasa kehilanganmu, Sabrina. Bukankah masa lalu itu statis dan tak bisa berubah?

12 September 2014
A Fahrizal Aziz
*Hanya sebuah fiksi dari buku Diary

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak