Tentang luka yang tak kunjung pergi



Kenapa rasa ini muncul lagi? Apa aku harus menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan persoalan yang berulang-ulang? Lelah sekali rasanya. Kapan kau akan pergi? Jangan hantui aku seperti ini. Pergi...pergi....

Dulu, ketika masih putih abu-abu, rasa ini muncul, seperti bunga merekah, namun setelah sekian lama, justru sebaliknya. Aromanya mulai busuk, layu dan duri-durinya kian tajam melukai. Aih, luka ini terus aku bawa berlari sampai kini ketika mataku sudah mulai dewasa memandang warna-warna. Kenapa?

Ini memang sebuah kelemahan yang nyata. Kelemahan yang dihasilkan oleh mata dan rasa. Keduanya begitu kuat menyatu, seperti lukisan senja dan merdunya biola. Keduanya begitu kuat menyayat. Dan apabila keduanya hadir, aku hampir tak mampu melawannya. Tubuhku lemas, diam tak bersuara, seperti masuk dalam labirin yang pekat dan seluruh urat saraf terikat.

Luka yang tak pernah mau beranjak pergi. Sial! Andaikan kau mahluk yang nyata, aku rela membayar mahal para algojo untuk mengusirmu, atau bila perlu membinasakanmu. Tapi, kau seperti bayang-bayang. Ku pukul wujudmu di hilir, kau menjelma di hulu. Begitu pula sebaliknya. Aku benar-benar terjebak dalam dunia yang kau buat. Pergi... pergi... jangan ganggu hidupku lagi.

“Sa,” sebuah suara memanggilku, sambil terlihat uluran tangan yang bersahabat hendak mengajakku untuk berdiri.

Aku raih tangan itu, dan sejurus kemudian pekat pun tersibak. Terlihat wajahmu yang samar-samar. Kau? Kau? Kenapa kau bisa hadir di tempat ini?

“Sa, berdirilah. Jangan terus-terusan terpuruk di tempat ini,” ucapmu.

“Kau tak tahu menahu tentang diriku, jadi jangan berkomentar semaumu,” responku dengan galak.

Lalu kau menarik tanganku dan aku pun terangkat. Dengan berat aku berdiri. Berdiri di tempat ini adalah hal yang cukup sulit bagiku, dan kau berhasil memaksaku untuk berdiri.

“Sa, apa kau tak pernah berharap jika Tuhan akan menurunkan malaikat yang akan membantumu mengusir luka-luka itu?”

“Kau bicara apa, sih? Aku sedang tak butuh imajinasi konyol seperti itu.”

“Luka itu tidak akan pernah kita hindari, selama perasaan itu masih kita miliki, Sa. Sampai kapanpun, kita tak akan pernah bisa keluar dari belenggu ini, kau paham kan?”

“Kau benar, aku akan terus membawa luka-luka ini, sampai aku mati dan tak ada lagi perasaan yang tercipta. Luka ini mungkin adalah takdir, tak akan pernah beranjak pergi...”

“Sa, kau lihat bintang diatas langit itu? Mereka kadang terlihat indah ketika mendung tak menutupi. Tapi, ketika langit mendung dan bintang-bintang itu tak terlihat lagi, keindahannya masih tetap terkenang di hati, kecuali jika kita terus meratapi mendungnya.”

“Aku tak paham.”

Kau tertawa kecil, lalu melanjutkan ,”Luka hadir sesaat keindahan itu tercipta. Hanya saja, ibarat sebuah bunga, belum sempat ia mekar, tapi sudah layu. Sa, bukankah bunga tak selamanya merekah? Suatu saat ia akan layu?”

“Belum sempat mekar, tapi sudah layu?” aku merenungi kata-kata itu.

“Dua sisi kehidupan yang tak mungkin kita pungkiri, Sa. Mungkin saja salah satunya akan pergi sejenak, tapi akan kembali tak lama lagi. Namun, haruskah kita merasa tergugu oleh dua hal itu?”

“Aku semakin tak paham kata-katamu, kau ini siapa. Kenapa tiba-tiba muncul di tempat ini dan berbicara banyak hal yang aku tak paham.”

Kau memandang ke arahku, senyummu begitu tulus.

“Kau lupa satu hal. Jika luka adalah suatu kondisi yang dibutuhkan oleh manusia, agar ia saling memahami satu sama lain dan semakin menjadikannya dewasa. Ia bukan musuh, bukan pula mahluk yang harus ditumpas, Sa. Ia diciptakan Tuhan sebagai pelajaran.”

“Benarkah? Darimana kau tahu itu? Seolah-olah kau ini tahu segalanya?”

“Aku tak bilang aku tahu segalanya, hanya saja aku tak pernah berhenti membaca. Termasuk membaca perasaanmu.”

“Membaca perasaanku?”

“Ya, antara tumbuh, mekar dan layu. Lalu hal itu akan berulang-ulang. Tapi kau tak pernah membiarkannya mekar, bukan?”

“Diam, jangan bicara la......”

Kau menghilang. Aku mencarimu, kualihkan pandangan ke segala arah. Dimana kau? Bagaimana kau menghilang secepat itu?

Tiba-tiba, tempat ini berubah menjadi taman bunga dandelion. Semilir angin membuat suasana hatiku berubah seketika. Bunga-bunga itu? Dan kata-kata itu?

“Belum sempat mekar, tapi sudah layu?”

Aku tercenung. Mungkin saja akulah yang membuatnya layu. Mekarnya tak pernah terjadi? Atau mekar menurutku berbeda dengan mekar menurut bunga-bunga itu? Ah, luka ini memang tidak harus kubunuh dan aku tak harus terbunuh olehnya. Biarlah mekar...biarlah mekar....


A Fahrizal Aziz
Blitar, 22 11 13

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak