Andai rakyat (atau wakilnya), bisa lebih bersabar





Apa yang terjadi seandainya Gus Dur tidak dilengserkan kala itu? Ada yang menjawab Indonesia akan lebih baik, terutama soal penegakan hukum, toleransi, dan keterbukaan sebagai sebuah bangsa. Namun ada yang menjawab sebaliknya, jika Gus Dur terus memimpin maka akan terjadi disintegrasi bangsa, karena ada sebagian pihak yang tidak ingin dipimpin oleh beliau, meskipun secara hirarkis berada dibawah Presiden. Namun, apapun jawabannya, pertanyaan retoris tersebut hanyalah prediksi atas sejarah yang telah berlalu. Akan tetapi, sejak Pak Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden tahun 1998, tiba-tiba bangsa ini menjadi tidak sabar-an.

Di akhir masa jabatannya, Presiden Soeharto kala itu terlihat lebih lunak, namun beliau nampak bimbang. Akhirnya diundanglah para tokoh agama dan cendekiawan untuk memberikan masukan agar bisa memberikan solusi yang terbaik. Kepada para tokoh tersebut Pak Soeharto berkata : Tidak masalah saya mudur, tapi apakah setelah saya mundur menjadi Presiden, kondisi bangsa ini akan lebih baik?. Sementara diluar istana dan di luar kantor Parlemen, ratusan ribu Demonstran terus menyuarakan Reformasi dan meminta Pak Harto mundur. Apalagi, setelah Pak Harmoko, salah satu tokoh sentral Parlemen kala itu, juga membuat konferensi press dan meminta Pak Harto lekas mundur.

Melihat pergolakan yang begitu membara, Cak Nur Kala itu memberikan masukan yang sangat baik. Biarlah Pak Harto sendiri yang memimpin reformasi ini, berilah waktu selama dua tahun. Namun pendapat Cak Nur tersebut tidak digubris oleh Para Demonstran yang sudah kadung melakukan demonstrasi besar-besaran. Baik yang di pusat Ibukota, atau yang di daerah-daerah. Sementara krisis ekonomi semakin mendera, harga-harga mahal, rakyat makin tercekik.

Akhirnya Pak Harto pun mengundurkan diri dan digantikan oleh Prof. Habibie. Prof. Habibie harus memimpin negara disaat krisis ekonomi dan eskalasi sosial yang keos. Pada kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, Prof. Habibie cukup berhasil melakukan stabilitas ekonomi. Prof. Habibie pun juga melakukan hal yang nekat dengan membubarkan Golkar dan merubahnya menjad Parpol. Hal nekat lainnya adalah membuat referendum untuk Timor Timor. Dua hal inilah yang konon membuat Laporan Pertanggung Jawabannya di tolak oleh Parlemen. Apalagi, 80% lebih anggota Parlemen adalah kader Golkar.

Tapi meskipun demikian, ketika Prof. Habibie menggantikan Pak Harto, Rakyat pun tidak serta merta mendukung. Bahkan banyak yang menduga kalau Prof. Habibie hanya kepanjangan tangan Pak Harto. Dan karena LPJ-nya ditolak Parlemen kala itu, Habibie tidak lagi bersedia untuk dicalonkan kembali menjad Presiden.

Akhirnya timbul pertanyaan retoris. Apa yang terjadi andaikan dulu Pak Harto memimpin sendiri reformasi? Ada yang menjawab bahwa reformasi akan berjalan dengan konsep yang lebih jelas karena memang dipersiapkan. Tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya, Pak Harto akan terlena karena sudah terlalu lama menjadi Presiden. Bisa-bisa reformasi tidak akan terjadi.

Begitu pun dengan Prof. Habibie. Bagaimana andaikan Prof. Habibie kala itu menjadi Presiden kembali? Mengingat jabatannya yang sangat singkat, yang kurang dari dua tahun. Waktu yang sangat singkat untuk memimpin sebuah negara sebesar Indonesia. Ada yang berpendapat jika Prof. Habibie kala itu kembali memimpin Indonesia, maka bangsa ini akan mampu bersaing di pentas global, terutama soal Industri strategis dan teknologi. Namun ada yang berpendapat sebaliknya, akan terjadi kisruh politik, mengingat Prof. Habibie tidak terlalu diterima Parlemen kala itu. Apalagi, kekuatan Golkar masih lumayan dominan.

Sekali lagi, apapun pendapat yang ada, itu adalah prediksi atas sejarah yang telah berlalu. Tidak bisa dibuktikan. Karena kenyataannya rezim juga berganti.

Tapi yang menjadi pertanyaan besar yang harus selalu direnungkan adalah ... apakah ketika rezim berganti rakyat selalu merasa puas? Apakah ketika Pak Harto mundur dan digantikan Pak Habibie kondisi menjadi lebih baik? Apakah setelah Pak Habibie tidak maju lagi dan kemudian Gus Dur menjadi Presiden kondisi negara juga lebih baik? Dan apakah ketika Gus Dur dilengserkan dan digantikan oleh Bu Mega sekonyong-konyong kondisi negara menjadi lebih baik?

Hingga datang pemilu 2004, ketika akhirnya rakyat secara langsung menentukan suaranya. Tokoh Reformasi, Amien Rais, kalah suara dari dua pesaingnya. Disinilah muncul pertanyaan besar, kalau tokoh-nya Reformasi saja hanya mendapatkan 10% suara, lalu bisakah Reformasi 1998 itu disebut sebagai suara bangsa Indonesia? Selain itu, tokoh sentral dari Partai yang menjadi jargon “pembela wong cilik” pun juga tumbang. Padahal, menurut data yang ada, jumlah rakyat yang disebut wong cilik itu sangatlah dominan kala itu.

Pemenangnya justru seorang tokoh yang benar-benar baru, yang secara figur lebih dekat dengan sosok Pak Harto. Padahal, banyak opini yang muncul kala itu, bahwa masyarakat tidak terlalu tertarik dengan tokoh militer, karena ditakutkan rezim orde baru akan muncul kembali. Namun stigma militer dan orba kala itu hanya lekat pada Golkar dan tentu saja, capresnya. Akhirnya, meski Golkar menjadi pemenang pemilu, namun tidak demikian dengan calon yang mereka usung.

Setelah Pak Amien gagal menjadi Presiden kala itu, ada pertanyaan senada pula, bagaimana ya seandainya kala itu Pak Amien yang menjadi Presiden? Ada yang berpendapat kalau bangsa ini akan menjadi lebih maju, karena Pak Amien telah melakukan banyak amandemen UU ketika menjadi ketua MPR, dan saatnya lah beliau menjalankan UU tersebut sebagai Presiden. Namun ada juga pendapat sebaliknya, Pak Amien akan susah memimpin karena resistensi yang besar dari kaum santri, terutama dari NU. Karena Pak Amien dinilai orang yang bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur. Kondisi itu bisa dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk menggoreng isu dan stabilitas politik jadi terganggu.

Sampai kemudian, 10 tahun berjalan dibawah kepemimpinan SBY yang tentu saja, tidak luput dari kritik bahkan hujatan. Hingga kini, ketika Jokowi menjadi Presiden, dan isu tentang pelengseran itu kembali menyeruak. Isu tentang Demonstrasi layaknya 1998 juga konon akan berlangsung 20 Mei nanti. Meskipun kepemimpinan Jokowi-JK belum genap 1 tahun. Ketidakpuasan terjadi dimana-mana, mulai dari mulut para pengamat, dari lembaga survey, hingga media sosial yang siapapun bisa berkomentar.

Saat inilah timbul pertanyaan retoris lagi. Bagaimana seandainya jika yang memimpin adalah Prabowo-Hatta? Ada yang berpendapat jika kondisi akan lebih baik dibandingkan Jokowi-JK, karena Pak Prabowo dinilai lebih tegas dalam membuat keputusan. Namun ada pendapat yang sebaliknya pula, tidak mungkin akan lebih baik karena semua posisi menteri pasti dari kader partai yang lebih sibuk berpolitik daripada kerja.

Tapi apapun pendapat yang ada, itu akan sangat susah dibuktikan karena senyatanya Presiden kita saat ini adalah Pak Jokowi, dan bukan Pak Prabowo.

Sekarang ini, banyak orang yang mengeluh, banyak muncul stiker dan poster yang menampilkan gambar Pak Harto dengan slogan : Penak Jamanku to. Ada juga quote-quote dari Gus Dur yang mampang dimana-mana, terutama ketika ada kasus intoleransi dan hukuman mati para TKI. Belakangan ini, nama B.J Habibie juga mulai dirindukan, petuahnya dinantikan. Dan yang selalu dikenang, adalah quote dan cerita tentang Soekarno.

Padahal kita harus ingat, Pak Karno dahulu dilengserkan oleh Wakil Rakyat yang menolak laporan pertanggung jawabannya dan mengangkat Pak Harto sebagai kepala negara. Pak Harto sendiri juga mundur karena desakan demonstran yang mengatas namakan rakyat. Pak Habibie juga tidak bersedia maju kembali karena LPJ-nya ditolak oleh wakil-wakil rakyat, yang itu membuat reputasi politiknya menjadi menurun entah dimata bangsanya sendiri atau dimata dunia. Gus Dur yang kini dirindukan juga dilengserkan oleh wakil rakyat.

Semuanya ada kata “Rakyat”, baik yang menyeru “Suara Rakyat” atau yang memiliki jabatan sebagai “Wakil Rakyat”. Kini, Pak Jokowi terpilih juga atas pilihan “Rakyat” dan gelombang demonstran yang konon akan melakukan gerakan 20 Mei mendatang juga menyatakan diri sebagai “Suara Rakyat”.

Akhirnya kita tahu bahwa Rakyat pun memiliki empat jenis. Pertama. Rakyat yang ikut pemilu. Kedua, Rakyat yang ikut Demonstrasi yang selalu menuntut. Ketiga, Rakyat yang menduduki jabatan sebagai Wakil Rakyat. Keempat, Rakyat yang mewakili lembaga survey.

Rakyat yang ikut pemilu punya kehendak sendiri. Rakyat yang ikut demonstrasi dan suka menuntut juga punya kehendak sendiri. Rakyat yang menjadi wakil rakyat juga punya kehendak sendiri. Rakyat yang direpresentasikan lembaga survey juga punya kehendak sendiri. Tapi bagaimanapun, semuanya adalah Rakyat.

Semoga tidak ada lagi peristiwa seperti Pak Karno, Pak Harto, atau Gus Dur. 10 tahun era Pak SBY bisa menjadi pelajaran dan cermin kebangsaan kita. Dan Rakyat, atau wakilnya, atau yang merasa menyebut diri suara rakyat, bisa lebih bersabar.

Blitar, 11 Mei 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak