Banyak para pedagang kecil yang tidak paham dengan dampak langsung dari turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Meskipun secara praksis, mereka juga ikut terdampak. Misalkan saja, harga barang-barang import menanjak naik, salah satunya kedelai. Itu juga berdampak pada ketersediaan tempe, tahu, dan makanan berbahan dasar kedelai lainnya yang biasa dijual di pasar tradisional. Begitu pun dengan naiknya harga minyak dunia yang berimbas pada naiknya harga bbm di pasar. Dampaknya adalah naiknya harga makanan atau barang-barang yang produksinya memerlukan bbm.
Beberapa ahli ekonomi mengatakan jika Indonesia tengah menuju masa krisis, dimana harga-harga akan melambung naik seperti tahun 1998 silam. Namun beberapa menilai, ada perbedaan fundamental antara tahun 1998 dan 2015 ini. Kalau dulu krisis disebabkan rapuhnya fundamental ekonomi kita, kalau sekarang krisis terjadi karena sentimen pasar akhibat kebijakan ekonomi Amerika. Tentu hal tersebut menjadi cukup rumit ketika harus dikaji oleh pedagang menengah yang biasa bertransaksi di pasar-pasar tradisional itu. Apalagi, ketika sudah berbicara soal rendahnya investasi dan saham.
Jika lemahnya nilai rupiah berimbas pada tingginya harga barang-barang import, tentu saja ini menjadi kekhawatiran semua pihak, termasuk pedagang kecil dan menengah. Hal itu dikarenakan banyak sekali bahan baku perdagangan mereka yang diimport, mulai dari beras, kedelai, garam, daging, dll. Maka krisis yang terjadi tidak serta merta dampak dari kebijakan ekonomi Amerika, melainkan juga lemahnya fundamental ekonomi kita karena tidak mampu memenuhi ketersediaan bahan baku yang semestinya bisa kita produksi sendiri.
Tapi di lain hal, kita harus bersyukur dengan tumbuhnya UMKM yang hampir menyentuh angka 60 juta. Sebuah angka yang mengesankan. UMKM tidak membutuhkan modal besar. Sekarang ini, jika ingin mencari modal, tidak harus ke Bank Besar, cukup ke BPR (Bank Pengkreditan Rakyat) yang pembayarannya bisa perminggu dengan jumlah angsuran yang cukup terjangkau. Jaminannya pun juga tidak begitu rumit. Bahkan ada yang tidak memerlukan jaminan.
Kehadiran BPR ini tentu sangat membantu UMKM. BPR bisa berkolaborasi dengan KUR (Kredit usaha Rakyat) yang merupakan program pinjaman dari Pemerintah. Kehadiran media sosial pun juga membuka akses yang luas untuk memasarkan produk-produk UMKM tanpa harus memiliki atau menyewa kios dengan harga yang tak sedikit.
BPR pun juga bisa menopang kebutuhan primer masyarakat kecil menengah, misalkan, dengan pinjaman jangka pendek, mereka bisa mengkredit motor, membeli alat-alat usaha lainnya yang itu sangat berguna untuk kelancaran usaha.
Tentu, selain menggenjot investasi masuk ke Indonesia, Pemerintah melalui BUMN atau Kementrian terkait juga bisa berperan penuh untuk menguatkan fundamental ekonomi kita. Kita punya tanah yang cukup produktif untuk ditanami, kita juga punya laut yang luas untuk mencukupi ketersediaan garam dan ikan, juga riset-riset canggih dalam bidang pertanian lainnya yang harus mulai diterapkan. dan juga sektor-sektor lainnya agar kita tidak bergantung pada import.
Kita juga tidak menyangka jika pencabutan subsidi yang dialihkan ke Infrastruktur itu harus mendapatkan ujian berupa sentimen ekonomi global semacam ini. Kita berharap pemerintah bisa terus menggenjot produksi dalam negeri agar ketahanan pangan semakin kuat dan kita tidak perlu risau ketika diterpa krisis ekonomi semacam ini. Biarlah yang “bergoyang” itu para investor dan para pelaku saham, pedagang kecil yang tidak begitu paham dengan gejolak ekonomi ini, tidak perlu ikut menderita.
Karena sekalinya di goyang, habislah UMKM ini. (*)
Blitar, 28 Agustus 2015
A Fahrizal Aziz
Tags:
Krisis Ekonomi