Melihat Islam Nusantara



menjawab diskusi @Shihab Akbar Reformer

Istilah Nusantarapertama kali mulai diperbincangkan dan populer ketika Patih Gadjah Mada, patih populer di kerjaaan Majapahit itu mengeluarkan sumpah palapa. Kerajaan majapahit sendiri, mengakhiri tugas sejarahnya sekitar tahun 1500 M. Dimana saat itu, sudah muncul beberapa kerajaan Islam seperti Kerajaan Samudra Pasai, Kesultanan ternate, Malaka, Demak dan Mataram.

Muncul beberapa perdebatan tentang datangnya Islam ke Nusantara. Periodisasi sejarah Nusantara sendiri dimulai sekitar abad ke- 4 bersamaan dengan lahirnya kerajaan bercorak Hindu pertama, yaitu Kerajaan Kutai. Sebelum itu, sebenarnya sudah ada beberapa kerajaan seperti Salakanegara di daerah gunung salak (sekarang Bogor) dan Tarumanegara di daerah Banten. Namun sayangnya, sejarah mencatatnya sebagai zaman prasejarah. Padahal jika digali kembali, sebenarnya Kerajaan yang lahir sebelum munculnya kerajaan Hindu-Budha tersebut memiliki corak agama/kepercayaan lokal yang sering kita sebut dengan istilah Animisme dan Dinamisme.

Animisme dan Dinamisme itulah kepercayaan (belum agama) yang kemudian mewujud dalam beberapa nama seperti Sunda Wiwitan di Jawa Barat, Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kaharingan, Parmalim, dll.

Kerjaan Islam sendiri baru muncul sekitar tahun 1200 M. Sebelum itu, kita mengenal masa penyebaran Islam yang sering kita kaji dalam teori gujarat. Di masa ini pula sejarah Wali-wali itu bermula. Ada pendapat spekulatif dari Paul Michel Munoz bahwa Islam sudah masuk ke Nusantara sekitar abad ke-6 di Masa Kekhalifahan Usman Bin Affan. Salah satu tokoh yang mendapatkan tugas ekspansi tersebut ialah Muawiyah Bin Abu Sofyan yang kelak menjadi Raja pertama Bani Ummayah.

Muawiyah Bin Abu Sofyan mendarat di sebuah daerah bernama Keling (sekarang Jepara), disana berdiri Kerajaan bercorak Hindu-Budha bernama Kalingga dengan Pemimpinnya Ratu Shima. Dalam misi Dakwahnya, Muawiyah berhasil mengajak tiga orang penting untuk masuk Islam, yaitu Putra Ratu Shima sendiri, Raja Jay. Lalu Rakeyan Sancang, bangsawan yang juga pangeran dari tarumanegara, bahkan konon Sri Indravarman, Raja Kerajaan Sriwijaya itu juga masuk Islam.

Jika melihat ulasan tersebut, ketika membincang Nusantara, setidaknya ada tiga bagian : Pra-agama, Hindu-Budha, dan Islam. Masa pra-agama adalah masa animisme dan dinamisme yang berisi kepercayaan-kepercayaan. Sampai sekarang ini, kepercayaan itu masih hidup, bahkan berakulturasi dengan agama, sebut saja Islam Kejawen. Sementara untuk Kerajaan, Kerajaan Islam yang masih bertahan hingga saat ini adalah Kerajaan Mataram Yogyakarta, namun dalam tata kelola administrasinya sudah sejalan dengan Negara.

Lalu dimanakah letak Islam Nusantara?

NU dan Muhammadiyah tidak bisa disebut sebagai Gerakan yang merepresentasikan Nusantara. Muhammadiyah lahir tahun 1912, dimana secara Geopolitik, istilah Nusantara sudah beralih ke Hindi-Nederland (Hindia-Belanda). Baru tahun 1920-an dan secara legal history, istilah Indonesia pertama kali digunakan dalam wacana formal ketika terjadi sumpah pemuda di tahun 1928. NU sendiri lahir tahun 1926.

Sementara itu, tidak ada Kerajaan Islam yang cakupan teritorinya mencakup Nusantara. Nusantara itu adalah istilah yang digunakan oleh Gajah Mada yang teritorinya meliputi Indonesia barat, Malaya, Thailand selatan (Pattani) Filipina Selatan (Moro) dan Kampuchea (Campa/Kamboja).

Kerajaan yang memiliki teritori seluas itu adalah Sriwijaya dan Majapahit. Lalu apakah Islam Nusantara itu mewakili nilai-nilai Islam di territori yang sekarang kita sebut Indonesia? tidak juga. Di Pattani dan Moro, dua daerah basis Muslim Thailand dan Filipina, hingga saat ini masih menjadi area konflik.

Maka kalau Presiden Jokowi menyebut Islam Nusantara sebagai Islam yang ramah, toleran, dan damai, maka harus obyektif juga memandang teritorial Nusantara saat itu. Islam Patani da Moro yang masuk kategori Nusantara, adalah Islam yang keras dan separatis yang ingin mendirikan negara Islam. Bahkan di Indonesia sendiri, di era Soekarno, sempat meletus PRRI Permesta yang berujung pada konflik of interest karena ada segolongan Muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Namun dalam periode Nusantara, Islam/Kerajaan Islam memang menjadi kekuatan terakhir sebelum akhirnya datang era kolonial. Disinilah, setidaknya, istilah Islam Nusantara tersebut mendapatkan justifikasinya. Islam yang mampu berkolaborasi dan berakulturasi dengan Kepercayaan dan agama sebelumnya, yaitu Hindu-Buddha. Prof. Azyumardi Azra malah menyebut bahwa Islam Nusantara itu kaitannya dengan aspek teologi dan fiqh. Pertemuan antara teologi Asy’ariyah-Maturidiyah dengan Empat Imam Mahzab. Untuk hal ini, saya kurang begitu memahami secara detail.

Namun setahu saya, baik teologi maupun Imam Mahzab tersebut, semuanya berasal dari Timur Tengah, yang secara teritorial kita sebut dengan Arab. Jika demikian, maka Islam Nusantara yang konon head to head atau anti Arab, itu menjadi semakin membingungkan karena produk-produk “Islam Arab” pun juga menjadi bagian penting dalam pembetukan Islam Nusantara.

Mahzab Fiqih-nya pun juga mayoritas Syafiiyah. Lalu apa kiranya yang membedakan Islam Nusantara, dengan misalnya Islam Arab atau Islam Barat? Secara teologis dan mahzab fiqh mungkin berbeda, namun negara-negara Arab sendiri juga tidak luput dari perbedaan itu. Bahkan perbedaannya lebih tajam. Barangkali perbedaan yang paling mencolok adalah dalam dua hal, yaitu perspektif Budaya dan Politik.

Islam Nusantara dinilai lebih adaptatif dan akulturatif. Lebih terbuka dengan Kepercayaan dan Agama sebelumnya, sehingga tidak merubah secara radikal. Akhirnya berkelindan dengan tradisi lama, atau yang biasa disebut kearifan lokal. Tradisi munggahan, pengeleng2, selamatan mayit, grebek suro, dll tetap di pelihara namun dirubah doa dan tujuannya. Perpaduan Islam dan Budaya atau Tradisi lokal semacam ini sudah muncul sejak zaman wali.

Jadi, bukan NU yang memulai, NU muncul dan bersifat meneruskan saja. Mengakomodir khazanah tradisi lokal yang sempat mendapatkan kritik Gerakan-gerakan Purifikasi seperti Wahabi. Muhammadiyah, sebenarnya tidak terjebak dalam dua arus tersebut. Muhammadiyah bergerak di tengah (moderat), bahwa KH. Ahmad Dahlan pun masih sholat subuh menggunakan Qunut, masih menggelar selametan, shalat tarawih 21 rakaat, dll.

Adapun kritik yang pernah ditujukan KH. Ahmad Dahlan soal sesajen dan selametan tersebut, semata-mata hanya kritik terhadap realitas. Bukan secara Fiqih. Karena kenapa Umat harus terbebani oleh hal-hal yang hanya bersifat tradisi? Kenapa makanan dibuang-buang untuk sesajen ketika zaman paceklik datang dan banyak orang kelaparan? Kritik KH. Ahmad Dahlan hanya soal efisiensi, yang belakangan, ketika Majelis Tarjih dibentuk kemudian dikaji secara Fiqiyah.

Perbedaan yang lain adalah soal Politik. Inilah yang barangkali menjadi sebab utama “Pertikaian Opini” Publik. Pihak yang pro terhadap Islam Nusantara, menjadikan dukungan Pemerintah ini sebagai momentum untuk menebarkan pengaruh dan doktrin ideologinya. Sementara pihak yang kontra, disatu sisi memiliki keterancaman terhadap doktrin ideologi mereka.

Contohnya begini, Islam Nusantara adalah Islam yang memiliki rumusan ideologi tertentu, salah satunya soal Budaya. NU menjadi Ormas yang getol memperjuangkan Islam Nusantara karena secara konseptual sejalan dengan ideologi mereka. Kecamuk perdebatan itu semakin berkobar karena saat ini NU dipimpin oleh Prof. KH. Said Agil Siradj, tokoh yang sering melontarkan kritik keras kepada gerakan Islam garis keras.

Islam Nusatara juga memiliki nilai mendasar, misalkan soal keterbukaan terhadap tradisi kepercayaan atau agama lain. Ini juga sekaligus menjadi kritik terhadap Islam yang memiliki pandangan tertutup, keras, dan takfiri.

Jadi, secara konseptual, Islam Nusantara itu bukan hal yang benar-benar baru. Itu sudah muncul sejak abad ke 12, hanya yang menjadi kritik, secara geografis wilayah Nusantara itu berbeda dengan Indonesia sekarang ini. pulau Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa tenggara tidak masuk masuk wilayah Nusantara dalam perspektif Geopolitik.

Kalau pun harus memilih, saya lebih sepakat dengan istilah Islam Pancasila karena lebih jelas pemaknaannya. Kalau Islam Nusantara terkesan dipaksakan dan tidak memiliki landasan yang kuat. Apalagi Nusantara sendiri adalah wilayah politik kerajaan Hindu-Buddha yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Bukan kerajaan Islam.

Itu saja yang bisa tak paparkan.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak