Guru honorer dan Tukang kerupuk



“Kalau tukang kerupuk demonya bagaimana?” tanya salah seorang pedagang kerupuk setengah bercanda. Lebih tepatnya pengusaha kerupuk. Pertanyaan itu muncul selepas melihat berita yang menginformasikan adanya demo guru honorer k2 agar diangkat menjadi PNS. Para guru honorer tersebut meminta negara memperhatikan kesejahteraan mereka. Mengingat guru honorer tidak mendapatkan gaji dari APBD maupun APBN dan hanya mengandalkan keuangan sekolah yang kadang kempas-kempis.

Para guru honorer itu tentu adalah mereka yang mendapatkan gelar sarjana. Mereka telah merampungkan kuliah s1 dengan berbagai beban studi yang mengikat. Sangat ironi ketika sarjana seperti mereka masih harus memikirkan kesejahteraan ekonominya disamping harus mengajar para siswa. Menjadi guru saja sudah menyita banyak waktu. Berangkat pagi pulang siang/sore. Di rumah masih harus menyiapkan, misalkan, media-media pembelajaran yang dibutuhkan untuk pelajaran besok. Apalagi, tuntutan lembaga kini setiap guru harus menerapkan PAKEM (Pelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan) yang itu berarti, strateginya tidak hanya ceramah.

Mereka, para guru honorer tersebut memiliki ijasah kesarjanaan yang secara administratif bisa diajukan menjadi PNS. Untuk itu, aksi demo yang menuntut pengangkatan mereka menjadi PNS itu cukup logis dan realistis. Pemerintah pun harus mempertimbangkan tuntutan tersebut. Berbeda dengan tukang kerupuk yang untuk menjadi tukang kerupuk pun, tidak membutuhkan persyaratan yang muluk-muluk semisal harus sarjana.

Pengusaha kerupuk itupun, sebenarnya juga sarjana ekonomi. Hanya saja, dia bukan sarjana ekonomi yang kemudian mendirikan pabrik kerupuk, melainkan sudah jualan kerupuk dahulu baru kemudian kuliah. Kuliahnya pun mengambil kelas non reguler.

Guru honorer dengan tukang kerupuk memang berbeda. Guru tugasnya mengajar siswa, menyiapkan RPP, Silabus, Promes, Prota, membuat evaluasi pembelajaran dll. Tugas yang tidak mudah dan harus fokus. Tidak bisa “mendua”. Bahkan untuk menjadi staf pun, kini beberapa sekolah mengambil karyawan tersendiri.

Sementara tukang kerupuk, tugasnya memproduksi kerupuk, menjualnya ke toko-toko, warung, dan rumah makan. Berbeda sekali. Kalau guru mendidik, kalau tukang kerupuk memproduksi. Menjadi guru tidak menghasilkan uang secara langsung, tapi mereka digaji oleh APBD/APBN yang sumbernya dari Pajak, dll. Jadi, Guru adalah orang yang pekerjaannya dibiayai oleh negara, sementara tukang kerupuk secara independen menghasilkan pendapatannya sendiri.

Makanya tidak heran jika guru honorer demo menuntut diangkat menjadi PNS agar hidupnya sejahtera dan bisa fokus mengajar. Berbeda dengan tukang kerupuk, ataupun penguasaha lainnya. Andaikan mereka berdemo, bisanya tuntutannya adalah penghapusan atau perubahan regulasi. Mereka tidak meminta “santunan” dari pemerintah karena memang bekerja di sektor informal. Mereka berdemo menuntut regulasi tertentu, selain agar usahanya tetap bisa bertahan, juga karena mereka sudah membayar pajak untuk negara.

Demo besar-besaran guru honorer itu pun belum tentu dikabulkan Pemerintah. Belum tentu ratusan bahkan ribuan demonstran yang kesemuanya guru honorer itu akan diangkat menjadi PNS. Apalagi ditengah keadaan fiskal yang sulit sekarang ini dan tersedot ke infrastruktur. Meskipun, anggaran untuk belanja pegawai masih nomor satu. Tapi guru honorer itu tidak bisa terus menunggu. Gaji dibawah UMR mereka tak akan mungkin bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Kalaupun harus kerja sampingan, aktivitas mengajarnya akan sedikit terbengkalai.

Artinya, seorang guru honorer memang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengajar ; sesuatu yang tak begitu menghasilkan uang. Karena menjadi guru memang bukan money oriented. Sementara tukang kerupuk atau bos kerupuk itu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memproduksi kerupuk yang memang menghasilkan uang. Disinilah, ada dua spekulasi yang dilematis.

Pertama, karena memilih profesi dan bidang studi keguruan, otomatis sudah mempersiapkan diri dengan kemungkinan misalnya, gagal tes CPNS. Meskipun sudah mengantongi ijasah s1 dari kampus tersohor. Termasuk, mempersiapkan diri andaikan nantinya harus menjadi guru honorer dengan gaji rendah dalam beberapa waktu sebelum menjadi PNS.

Aksi tuntutan agar guru honorer tersebut diangkat menjadi PNS tentu saja tidak hanya soal status kepegawaian, melainkan ada beberapa regulasi yang juga dipertanyakan. Kalau tidak salah, ada 20 tuntutan yang diajukan.

Kedua, jika tujuannya adalah ekonomi, tentu menjadi guru bukan solusi. Solusinya adalah pengusaha, seperti misalkan bos kerupuk tersebut yang omzet per bulannya puluhan juta dan sudah memiliki rumah besar, mobil, beberapa motor dan tentu saja aset yang lain. Bahkan mampu memperkerjakan 20 karyawan. Apakah guru honorer yang mendesak agar diangkat menjadi PNS itu lebih memiliki motif ekonomi dibandingkan semangat mengabdi?

Ini pertanyaan yang di satu sisi membingungkan, tapi disisi lain juga dilematis. Menjadi guru memang pengabdian, tapi agar bisa mengajar dengan produktif butuh topangan ekonomi yang kuat. Topangan ekonomi itu mungkin tidak secara pribadi, misalkan juga secara kelembagaan. Misalkan, untuk keperluan KBM, Guru sudah tidak terbebani apapun terkait pengadaan media pembelajaran hingga pelatihan pedagogik. Kerap kali, guru masih harus menggunakan biaya sendiri untuk membuat media pembelajaran. Bisa dibayangkan jika itu adalah guru honorer yang gaji per bulannya saja belum tentu mengcover kebutuhan rumah tangga.

Ditambah, sekarang ini, akan ada ledakan sarjana keguruan. Mengingat jurusan keguruan masuk dalam top 5 dalam Seleksi masuk Perguruan tinggi.

Di beberapa sekolah, terutama sekolah swasta, sudah banyak lembaga yang memiliki business center. Mereka sudah memiliki kemampuan keuangan yang memadahi. Selain itu, biaya masuk dan SPP per bulannya yang juga tinggi. Bahkan ada sekolah swasta yang semua gurunya bukan PNS, dan gajinya ditanggung sepenuhnya oleh sekolah. Yang mengelola pembiayaan pendidikan dan business center ini adalah staf khusus yang memang bertugas untuk itu. Sehingga, guru bisa fokus mengajar.

Ada kritik yang menyebut ini bisnis pendidikan. Artinya, kadang siswa harus membeli seragam, buku, dan keperluan lainnya di sekolah tersebut padahal seharusnya itu semua gratis. Pemerintah yang menanggung. Uang masuk dan SPP pun mestinya juga tidak ada sampai jenjang SMA.

Tapi memang tidak bisa dipungkiri, jangankan memberikan subsidi penuh kepada seluruh sekolah negeri di Indonesia, menggaji semua gurunya saja belum mampu. Masih banyak guru honorer yang bekerja di sekolah negeri. Padahal, ada banyak lembaga pendidikan jenjang perguruan tinggi yang menerapkan sistem bisnis. Ada yang sebelum diberlakukannya UKT, sudah menerapkan sistem subsidi silang. Atau biaya yang berbeda tergantung gelombang pendaftaran.

Menurut saya tidak masalah jika sebuah sekolah menerapkan “bisnis pendidikan” tersebut. Asalkan bisnisnya adalah untuk memudahkan berlangsungnya KBM dan meningkatkan fasilitas belajar-mengajar. Akan menjadi soal jika bisnisnya untuk memperkaya oknum tertentu. Pemerintah tetap punya tugas untuk menggaji guru dan membiayai siswa miskin agar tetap sekolah, tapi lembaga tetap bisa berperan “lincah” agar kebutuhannya bisa tercukupi.

Itu agar membedakan mana guru dan mana tukang kerupuk. Dalam bekerja guru tidak memikirkan bagaimana agar mendapatkan uang, tapi uang itu ada untuk menopang kebutuhannya. Sementara tukang kerupuk, bekerja untuk memikirkan bagaimana dapat uang atau omzetnya meningkat.

Jangan sampai guru yang harusnya fokus mengajar, harus fokus juga bagaimana cara mendapatkan uang dan kemudian menjadikan muridnya sebagai konsumen. Ini berbeda dengan yang diatas, dan inilah yang mungkin selama ini dikritik sebagai “bisnis pendidikan” itu.

Blitar, 16 Septermber 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak