“Selama ini hanya saya pendam,” curhat salah seorang teman di sebuah media chat. Saya memang membuka ruang obrolan. Baik di BBM ataupun WA. Pin dan WA saya pampang di hampir semua blog dan media sosial, termasuk di Kompasiana. Kadang ada yang sekadar mengomentari tulisan saya, kadang ada yang mengajak diskusi, kadang juga hanya sekedar sharing. Memang tidak semua saya balas. Hanya yang serius saja, maksudnya, yang sekiranya memang cocok untuk dibalas. Karena tak sedikit pula yang hanya menulis “Hai” .. “Stay dimana”.. “Skul or Kerja?” dan lain-lain.
Ada juga yang langsung ke topik, misalkan begini “tulisan anda yang berjudul xxx sebenarnya bagus, tapi ada sedikit yang kurang saya sepakat ...” kalau yang seperti ini biasanya saya tanggapi, sekaligus sebagai teman diskusi. Ada juga yang sharing atau minta pendapat, termasuk yang baru saja sharing itu (tak bisa saya sebut nama karena menjaga privasinya), yang curhat tentang ketertarikannya dengan seseorang yang sudah bertahun-tahun dan itu hanya bisa dia pendam.
“..Saya sering mengamati dia diam-diam, dulu kami satu sekolah, menurut saya dia menarik banget, mungkin ini yang disebut jatuh cinta..” tulisnya.
“Sudah kamu ungkapkan?” tanya saya. “Belum, saya nggak berani ungkapin, biarkan dipendam saja. Saya takut hubungan kami justru berubah. Saya nyaman seperti ini, tak menjadi beban. Saya mengagumi dia, dan cukuplah seperti ini saja,” jawabnya.
Dalam sekali ya. Saya kira cinta yang terpendam itu hanya ada di lagunya Iwan Fals, ‘Ijinkan Aku Menyayangimu’. Tapi ternyata ada di kehidupan nyata, dan itu sangat kompleks. Lucunya, kita tak pernah punya nyali sedikitpun untuk mengungkapkan karena alasan yang sangat logis. Misalkan, dia sudah punya pasangan. Tentu kita tidak ingin mengusiknya, sama halnya ketika kita punya pasangan dan tak ingin diusik orang lain.
Kadang, cinta itu tak harus memiliki. Tapi cinta bisa dinikmati. Kita merasakan senangnya jatuh cinta, tapi ego untuk memilikinya itulah yang kadang menyiksa. “Andaikan semua orang bisa kayak kamu,” puji saya.
Dia sadar bahwa cintanya tak tersampaikan, dan mungkin tak akan tersampaikan. Apalagi, dianya sudah menikah, sudah memiliki kehidupan yang siapapun tidak boleh mengusiknya, mengusik sendi-sendi perasaannya. Bersikap seperti itu ndak gampang. Susah. Berat. Hanya kesatria yang bisa. Kemampuan menerima takdir.
“Tapi kamu nggak sendirian, ada banyak yang seperti itu,” respon saya. Dia pun membalas beberapa emotikon.
“Dan salah satunya adalah saya, yang sekarang kamu ajak curhat ini,” pungkas saya mengakhiri curhat sesi pertama.
26 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz
Tags:
Bincang