Belakangan Anchor populer Metro tv, Najwa Shihab, mengkritisi soal rendahnya budaya membaca bangsa Indonesia. Sengaja menggunakan kata “budaya”, karena spektrumnya lebih luas ketimbang ” minat membaca”.
Budaya berarti telah menjadi kebiasaan dan rutinitas. Sudah menyatu dalam denyut nadi kehidupan. Sehingga orang yang suka membaca tidak lagi disebut “sok pinter”. Karena kita sering mendapati –di sekolah-sekolah bahkan– siswa yang rajin membaca disebut sok pinter, rajin, dan dapat julukan “kutu buku”. Padahal istilah “kutu” itu sebenarnya juga tidak tepat.
Di era digital, membaca variasinya lebih luas. Kalau dulu membaca hanya dari media cetak kertas. Sekarang bisa dari komputer, ponsel, sampai gadget. Sudah ada e-book, media online, website, blog, dan aplikasi baca.
Terkait membaca, kita pun juga perlu tahu apa saja kira-kira yang dibaca. Misal, budaya membaca koran biasanya semarak di lembaga-lembaga. Mereka langganan harian nasional atau lokal. Membaca koran bisa sebelum masuk kantor, bisa pas istirahat.
Rubrik yang pasti dibaca kemungkinan headline, atau peristiwa yang terjadi hari-hari ini. Ada rubrik opini, budaya, dll tapi kadang dibaca, kadang dilewatkan begitu saja.
Membaca berita berarti mengkonsumsi fakta-peristiwa. Biasanya just for information. Hanya untuk tambahan informasi. Efeknya anda lebih tahu peristiwa yang sedang terjadi saat ini, ketimbang mereka yang tidak baca.
Sebenarnya di koran-koran juga disajikan kolom opini dan budaya. Untuk kolom budaya, biasanya seminggu sekali, memuat puisi dan cerpen.
Membaca opini, itu berarti anda mengunyah persepsi. Seorang kolumnis biasanya akan menyajikan fakta dan data untuk menguatkan argumentasinya. Ketika anda baca, anda mendapatkan tambahan sudut pandang. Membaca opini membantu anda melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang lain.
Lalu bagaimana dengan membaca karya sastra? Karya sastra mengajak kita untuk membangun rasa. Biasanya dalam bentuk narasi, atau bahasa yang padat makna. Titik sentuh dari karya sastra adalah hati manusia. Reading to feel. Jadi ketika membaca karya sastra, anda mendapatkan tambahan “rasa”.
Lalu coba kita tarik tradisi membaca tersebut dalam media buku. Apa saja buku yang telah kita baca?
Kalau melihat trend perbukuan, justru buku yang laris itu adalah buku-buku fiksi/sastra. Misalkan novel. Buku-buku laris lainnya sepeti buku “how to” yang biasanya memberikan tips atau kiat-kiat yang cespleng untuk kita terapkan dalam kehidupan. Misal seperti buku “seminggu jadi pengusaha kaya”.
Tapi ada banyak juga buku hasil riset yang dikemas secara populis, ditulis oleh akademisi yang memiliki keahlian dibidangnya. Biasa disebut buku pemikiran. Sebagaimana opini, buku pemikiran menawarkan persepsi atas suatu problema dalam masyarakat. Cuma kalau dalam buku, persepsi yang ditawarkan bisa lebih tereksplore.
Dari ketiga buku tersebut, manakah yang sekiranya sering kita baca? Itulah yang kemudian juga mempengaruhi cara berfikir kita. Kalau yang suka membaca buku tips, berfikirnya biasanya memang praktis, padahal problema yang terjadi sangatlah kompleks.
Tapi seiring berkembangnya gadget dan akses internet, serta gempuran media online yang bejibun, otak kita pun juga digempur oleh bacaan-bacaan yang tidak jelas “jenis kelaminnya” apa. Apakah berita, opini, atau apa.
Misal di media online kita mendapati rubrik berita, tapi isinya lebih banyak opini. Jadinya yang ditulis bukan lagi fakta melainkan propaganda. Mau disebut berita, tapi yang disajikan lebih banyak asumsi. Mau disebut opini, tapi tidak jelas siapa penulisnya dan struktur pembahasannya.
Inilah tantangan pelik, ditengah lemahnya budaya membaca buku, tapi semakin gencarnya orang mengakses internet dan sosmed. Mungkin tradisi membaca itu hidup, tapi efeknya tidak mencerahkan, karena yang dibaca juga bukan bacaan yang mencerahkan. (*)
Blitar, 24 Agustus 2016
A Fahrizal Aziz
A Fahrizal Aziz