Pertama kali saya belajar menulis tahun 2007. Karena bergabung dengan ekskul Jurnalistik dan menjadi reporter, maka saya diikutkan berbagai diklat dan pelatihan menulis berita. Untung pembelajaran menulis pertama kali yang saya dapatkan adalah menulis berita, coba kalau menulis yang lain. Belum tentu bisa istiqomah.
Itu dikarenakan, saya tidak begitu memiliki tradisi membaca yang baik. Apalagi bacaan sastra. Baru kenal novel saja ketika kelas XI, itupun karena masuk kelas Bahasa. Padahal energi teknis terbesar untuk menulis itu justru dari buku bacaan. Buku bacaan, selain memberikan informasi yang akhirnya menjadi data untuk tulisan kita, juga memberikan kita pengayaan diksi dan penambahan kosa kata.
Meskipun hal tersebut tidak terlalu dibutuhkan untuk jenis tulisan berita. Berita mengambil sumber primer : dari peristiwa atau narasumber langsung. Bukan sumber-sumber sekunder seperti buku bacaan. Namun sesekali kita butuh untuk mencari referensi buku, apalagi ketika menulis news feature.
Baru tahun 2008 pertengahan, saya sedikit menengok bacaan sastra dengan bergabung ke FLP (Forum Lingkar Pena). Tahun itu, dan sebelum sebelumnya, karya-karya Penulis FLP bertebaran dan mewarnai jagad literasi nasional. Di perpustakaan, di toko buku, banyak sekali logo FLP bersebaran. Puncaknya barangkali ketika Novel Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, dua novel super fenomenal yang sangat amat diperbincangkan. Termasuk oleh anak ingusan-labil seperti saya yang masih Aliyah kala itu.
Di tahun itu pula Novel Laskar Pelangi juga tengah meledak. Bahkan dua dari tetraloginya saya baca habis dalam waktu kurang dari sebulan. Ini luar biasa untuk ukuran diri saya sendiri. Malah Laskar Pelangi yang tebalnya 500 lebih halaman itu khatam kurang dari seminggu. Seri kedua, Sang Pemimpi, khatam agak lama, padahal paling tipis. Sementara Edensor danMaryamah Karpov justru saya baca akhir jelang lulus Aliyah. Dari 4 seri tersebut, bagi saya Sang Pemimpi paling mengena. Mungkin karena tokohnya masih SMA, dan saya kala itu juga masih Aliyah.
Novel-novel itulah awal dari saya suka buku. Tidak saja buku sastra, namun juga buku yang lain. Dulu ada Perpustakaan milik Pak Marmin Siswojo (Pak Sis) di Jatinom, yang dipinjamkan untuk umum. Saya tahu informasi ini dari Zaenab, teman sekelas sekaligus sama-sama pengurus Ekskul Jurnalistik. Buku-buku disana dipinjamkan Gratis. Saya sering meminjam, dan sering pula terlambat mengembalikan, sampai di sms oleh penjaga Perpustakaannya.
Saya ingat ada dua buku yang paling sering dan paling lama saya pinjam. Pertama buku berjudul “Quantum Ikhlas” karya Erbe Santanu, dan buku Shalat Khusyuk karya Ust. Abu Sangkan. Kedua buku itu kemasannya menarik, sampulnya hard cover. Untuk buku Quatum Ikhlas, ada CDnya. Menurut panduannya, CD itu diputar sambil membaca bukunya. Ternyata bunyinya hanya gemericik hujan.
Dari kelas XI hingga akhir kelas XII saya sering berkunjung ke Perpustakaan tersebut, biasanya sore selepas pulang sekolah, sekaligus mampir ke rental VCD yang jaraknya berdekatan. Tahun itu sudah ada internet, sudah pula banyak warnet, sudah ada youtube, namun belum marak gadget. Sehingga VCD masih laku keras. Belakangan saya juga baru tahu, jika menonton film adalah salah satu cara efektif untuk belajar menulis cerpen/novel.
Dalam setiap pertemuan FLP Blitar, kadang di Lobi Perpus BK, di Masjid Syuhada, di Pepustakaan Manca Bonrojo, atau di Koperasi Salsabila, tak jarang yang membawa buku. rata-rata novel, kumpulan cerpen, atau buku KeIslaman. Dari sana lah satu dengan yang lain kemudian saling bercerita tentang isi buku tersebut. Perkumpulan itupun, tidak saja jadi media sharing kepenulisan, tapi juga menjadi rumah tersendiri bagi mereka para penikmat buku. bahkan dibandingkan menulisnya, lebih banyak berbincang soal bukunya.
Di FLP sendiri saya secara khusus belajar menulis cerpen/novel. Ternyata tidak mudah menulis karya fiksi. Tidak saja harus fokus pada teknis kepenulisannya, tapi bagaimana melibatkan perasaan didalamnya. Makanya saya tak bertahan lama, apalagi setelah pindah ke Malang, aktivitas nulis cerpen/novel break dalam waktu panjang, berganti belajar menulis opini/artikel ilmiah populer, sampai kemudian bertemu dengan bentuk tulisan bernama “esai” yang membuat keranjingan.
Esai bisa disebut bentuk tulisan paling bebas diantara bentuk yang lain. Esai paling menghargai subyektifitas. Barangkali esai berkembang pesat ditengah maraknya internet atau sosial media, dimana orang memiliki medianya tersendiri. Esai tak terlalu terikat teknis kepenulisan, juga EYD. Paling pol adalah tanda baca. Tanda baca harus tetap rapi karena itu merupakan panduan pada pembaca, kapan jeda, berhenti sejenak, penegasan, tanya, dsb.
Apalagi sekarang perdebatan soal EYD telah berakhir. Kata-kata baru yang belum tercantum dalam KBBI bisa diusulkan ke kamus daring Kemendikbud. Tahun dimana kesempatan menulis terbuka lebar, makin banyak juga toko buku online yang menerbitkan buku sendiri, dengan biaya yang lebih murah dan kontent yang lebih bebas. Sayang ada satu hal yang mengkhawatirkan, ialah makin sedikitnya orang-orang yang mau membaca buku secara serius, karena sudah keasyikan membaca status di sosmed atau artikel-artikel di internet. []
Blitar, 18 November 2016
Tags:
buku