Entah mulai kapan saya membiasakan diri minum kopi, mungkin sekitar empat tahun belakangan ini. Padahal saya punya riwayat lambung yang kurang baik. Tidak juga karena terprovokasi buku “filosofi kopi”. Karena kopi dalam buku tersebut bukan kopi sachet-anyang biasa kita beli, melainkan kopi olahan barista profesional.
Selama di Malang, intensitas ngopi memang meningkat. Terutama akhir pekan. Ngopi mulai diatas jam 9 malam, sampai tengah malam, kadang jelang subuh. Aktivitas semacam itu memang tidak baik untuk kesehatan. Bayangkan, ngopi disaat tubuh seharusnya istirahat, kalau lapar, makannya mie instan. Tapi mau bagaimana lagi, itulah hiburan paling murah bagi mahasiswa, terutama kaum aktivis yang selalu antusias dengan isu terbaru, atau teori-teori sosial.
Ngopi tidak sekedar menghabiskan malam, tapi juga ajang adu argumentasi, wawasan, dan persepsi. Anehnya, meski pagi sampai siangnya didera aktivitas yang padat, namun jarang yang terlihat lelah. Mungkin istilah semacam itu benar, lelah tidaknya tubuh terpusat pada fikiran. Bahkan orang yang tak melakukan apa-apa di rumah bisa diserang kantuk dan lelah yang akut, bahkan stress ringan.
Apa mungkin karena itu saya punya kebiasaan ngopi, dan merasa aneh jika tidak minum kopi dalam sehari. Meski pernah punya ikhtiar untuk berhenti ngopi, namun hanya bisa bertahan satu minggu. Setelah itu, ngopi lagi maksimal 2 kali sehari, meski cuma cangkir kecil.
Namun kopi buatan sendiri dengan buatan warung serasa berbeda. Buatan warung lebih enak. Lebih ada taste. Setidaknya, jika saya sarapan soto banjar dekat pasar merjosari, Malang, saya selalu pesan kopi. Atau, ketika malam hari beli tahu telur di warung belakang Sardo, dekat kuburan Merjosari itu. Kopi hitam racikan warung, apalagi jika penjualnya sudah Ibu-ibu, rasanya lebih enak. Seolah kopi tersebut dibuat oleh tangan yang berpengalaman.
Apa karena kandungan cafeinnya, kopi memberikan rasa nyaman tersendiri bagi fikiran, kadang membantu menemukan ide. Saya pun menulis ini setelah dua hari tidak ngopi, dan baru saja makan soto simpang lawu, sembari memesan kopi hitam.
Pernah mencoba mengganti kopi dengan beberapa minuman, namun tetap tidak sama. Meski saya harus akui, bahwa kopi bukanlah pemantik menulis. Bagi saya, pemantik menulis ada deadline. Namun untuk tulisan semacam ini, yang biasanya saya posting bebas di blog/sosmed, butuh feel tersendiri untuk membuatnya, karena memang tidak ada tekanan apapun. Berbeda dengan menulis konten, yang memang harus selesai pada jam yang sudah ditentukan. Termasuk ketika menulis berita.
Sejujurnya saya tidak ingin terlalu candu terhadap kopi, sudah dikurangi sedikit demi sedikit. Dari yang dua kali sehari, kini cukup sekali, bahkan sekali dalam dua hari. Belum bisa benar-benar lepas. Kopi seolah punya magic tersendiri. Ketika meminumnya, tidak sekedar menikmati minuman, namun juga sekaligus menikmati suasana. []
Blitar, 3 Desember 2016
A Fahrizal Aziz
Tags:
cerpri