Dalam KBBI, fiksi berarti cerita rekaan, cerita hasil khayalan pengarang. Kalau begitu, non fiksi bisa diartikan cerita yang bukan rekaan atau bukan khayalan pengarang. Makanya aku kurang sependapat dengan istilah non fiksi untuk menyebut tulisan macam berita, opini, atau esai. Juga, menyebut novel, cerpen, puisi sebagai sebutan karya fiksi.
Karena ada banyak cerpen dan novel yang diangkat dari kisah nyata, bukan rekaan. Meski tidak mungkin sama persis dengan kenyataan. Termasuk ketika banyak kritikus yang mempertanyakan novel Laskar Pelangi, karena novel itu konon diangkat dari kisah nyata penulisnya, namun kemungkinan terdapat banyak rekaan.
Sama dengan film. Ada film yang diangkat dari sejarah atau biografi tokoh. Tapi kadang keduanya susah dibedakan. Saat menyimak kuliah umum tentang film, kala itu Leila S. Chudori pernah mempertanyakan, apa bedanya film sejarah dengan film biografi?
Ini menarik juga bagiku, terutama waktu memperbandingkan film Sang Pencerah dengan Film Sang Kyai. Dari segi jumlah penonton bioskop, film Sang Pencerah memang lebih unggul, namun dari segi teknis Sang Kyai dinilai lebih mumpuni, sampai masuk berbagai nominasi pernghargaan.
Keduanya mengangkat kisah tokoh. Tapi ada perbedaan yang mendasar. Sang Pencerah secara tajam menyoroti sosok KH. Ahmad Dahlan, kisah hidupnya sampai mendirikan Muhammadiyah. Sementara Sang Kyai tidak demikian, yang banyak disorot justru kiprah KH. Hasyim Asyari dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Sang Pecerah bisa disebut film biografi, sementara Sang Kyai adalah film sejarah. Orang mengira kedua film tersebut sama-sama menceritakan kiprah dua Kyai dalam mendirikan Organisasi Islam. Ternyata tidak selalu. Sang Kyai tidak menceritakan proses berdirinya NU.
Barangkali pertanyaan serupa juga akan muncul ketika membedakan antara fiksi dan non fiksi. Apakah cerpen yang diangkat dari kisah nyata tetap akan disebut fiksi? Tapi sudahlah, karena definisi itu sudah terlanjur menjadi istilah umum, di sekolah pun juga diajarkan demikian.
Paling tidak ada tiga bentuk tulisan yang terkait dengan ini, yaitu berita, opini, dan esai. Mungkin ada yang bertanya, kalau artikel masuk mana? Barangkali kita perlu bahas ini juga.
Dulu aku sempat dibuat bingung dengan pertanyaan, apa bedanya artikel dan opini? Lalu apa bedanya opini dan esai? Sambil memperlihatkan tulisan tokoh yang ada di rubrik opini. Lalu di koran lain, ada tulisan tokoh yang nama rubriknya esai.
Berbeda dengan puisi dan cerpen yang pasti masuk rubrik sastra, atau setidaknya rubrik budaya. Membedakan artikel, opini, dan esai memang agak susah. Sampai aku mempertanyakan ini kepada kepala editor Majalah Suara Akademika, yang sering menulis esai.
Beberapa definisi aku baca, berbagai penjelasan pun aku simak. Misalkan, menurut KBBI, artikel itu diartikan karya tulis yang tidak terlalu panjang tetapi lengkap, biasanya dimuat di koran atau majalah.
Dari definisi diatas, setidaknya kita tahu bahwa artikel itu bisa berupa banyak hal. Misal, tulisan seputar tips-tips sederhana, ulasan tentang suatu produk, kesehatan, dll. Maka kalau bekerja di Majalah, pernah ada tugas bikin artikel tentang sesuatu. Biasanya kita akan mencari data dan informasi tentang hal tersebut kemudian mengulasnya. Itulah artikel.
Beda gaya dengan opini dan esai. Saat Sapardi Djoko Damono menjelaskan tentang puisi, ia sedikit membandingkannya dengan tulisan lain seperti berita dan opini. Menurutnya, kalau berita itu harus jelas faktanya. Tidak boleh ambigu atau metafor (kiasan, perbandingan) kalau puisi bebas menggunakan berbagai majas.
Bedanya, kalau artikel itu kadang berupa ulasan. Kalau opini (atau kadang disebut artikel ilmiah populer) adalah ulasan yang bersifat subyektif, berbasis data, dan persepsi. Kalau esai, ulasan subyektif yang bersifat sepintas saja.
Artinya begini, kalau kita ingin menulis opini. Kita harus memutuskan dulu apa isu yang ingin kita soroti, kita cerna dengan persepsi kita. Untuk mencerna tersebut, kita perlu menyajikan data-data. Karena opini itu berbasis persepsi, maka harus ilmiah, harus ada data dan argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan. Lalu kita menawarkan solusinya.
Berbeda halnya dengan esai, kalau kita ingat waktu sekolah dulu, ada soal yang jawabannya harus ditulis dengan esai. Esai itu pendapat pribadi. Cara kita menuangkan definisi. Misalkan, kalau kita ada pertanyaan apa arti pendidikan? Maka kita akan menjawabnya, sejauh pemahaman kita (tidak perlu sama persis dengan yang ada di buku).
Dulu aku sempat berdebat dengan seorang guru yang menyalahkan jawaban esai muridnya, karena tidak sesuai dengan buku, meskipun maksudnya hampir sama. Esai tidak mengukur tingkat hafalan kata per kata, melainkan mengukur tingkat pemahaman.
Bedanya dengan opini, esai tidak terikat keharusan untuk ilmiah. Gaya penulisannya pun cenderung bebas. Tidak harus ada solusi. Tidak juga perlu terstruktur dengan baik. Esai lebih semau gue.
Memang banyak koran atau media online yang kemudian tidak begitu membatasi gaya opini, dengan alasan agar lebih cair dibaca dan menyentuh segmen yang lebih luas. Karena kalau terlalu ilmiah, tidak semua orang juga bisa memahaminya.
Untuk tulisan-tulisanku di blog ini, aku pun tidak ingin terikat bentuk. Makanya menggunakan “aku” dan bukan “saya” atau malah “penulis”. Karena blog, maka bisa lebih semau kita. Apakah tulisanku ini masuk esai? Mungkin bisa, tapi aku lebih suka menyebutnya catatan saja. Berbeda dengan tulisanku di Qureta, Kompasiana, atau Srengenge.id
Selamat menyelami dunia non fiksi, atau opini, atau esai. []
Blitar, 30 Januari 2017