Saat Anies Baswedan mengatakan, kemiskinan di Jakarta berbeda dengan kemiskinan penduduk di pulau-pulau terluar Indonesia, saya jadi teringat cerita alrmarhumah nenek sewaktu masih harus mengurus kedelapan anaknya.
Kemiskinan saat ini dihitung dari pendapatan. Misalkan, kalau ada yang pendapatannya dibawah Rp20.000 per hari, maka masuk kriteria miskin. Padahal pendapatan segitu juga belum cukup, sebulan hanya Rp600.000. Padahal rata-rata UMR diatas 1 juta. Bahkan untuk hidup di Jakarta, uang 3 juta per bulan sudah pas pasan.
Zaman nenek saya, miskin tidaknya sebuah keluarga tidak dilihat dari ketersediaan uang, melainkan lahan. Karena kebutuhan makanan tidak selalu beli, melainkan bisa mengolah dari kebun sendiri.
Keluarga nenek saya di desa, meski tidak selalu punya uang, namun tidak masuk kriteria miskin. Lahannya masih produktif. Mau masak singkong, sayur, menikmati buah, semuanya tersedia di kebun. Hal itu yang mirip dengan suasana di daerah pedalaman, atau pulau terluar.
Jadi benar apa yang dikatan Anies Baswedan. Kemiskinan di Jakarta itu ekstrem. Dikarenakan pendapatan kecil, tidak punya lahan produktif, setiap hari disuguhi kemacetan, keruwetan, dan kesenjangan yang tinggi.
Jadi miskin di Jakarta bebannya berlipat. Kebutuhan tidak selalu terpenuhi, namun disatu sisi gemerlap kota, gaya hidup mewah dengan mudah mereka dapati. Beban psikologisnya tak kalah berat.
Di daerah pelosok, orang tidak selalu punya uang, namun mereka juga tidak selalu membeli semua kebutuhan hidupnya. Misalkan ingin makan ikan, bisa memancing di sungai, ingin makan sayuran tinggal petik, ingin makan buah juga tinggal ambil. Apalagi bagi mereka yang tinggal di dekat hutan.
Sayangnya, kita selalu mengukur kesejahteraan dengan mistar masyarakat perkotaan ala negara-negara minim sumber daya alam. Padahal Indonesia adalah negara subur, dimana kebutuhan perut disediakan oleh alam yang semestinya bisa diakses secara luas.
Kita digempur oleh industrualisasi, sains dan kapitalisasi. Yang lebih mengerikan, kita digempur oleh pola pikir hak milik. Privatisasi aset. Tanah-tanah luas dikapling oleh kelompok tertentu. Padahal orang-orang zaman dulu, jika mereka sedang panen, tetangga pasti dapat kiriman. Begitupun sebaliknya. Suasana saling memberi adalah budaya kita.
Sampai urusan air minum, yang dulu disediakan gratis di depan rumah. Kini air minum pun di privatisasi, kita harus membayar jika ingin minum air putih. Sumur-sumur dan sumber air dikelola oleh korporasi. Sementara pola pikir kita dibombardir oleh sains, yang mengatakan jika air sumur tidak lebih sehat dari air kemasan.
Sungai-sungai tercemar oleh limbah industri, ikan-ikan pun tak bisa hidup. Sungai tidak jernih lagi untuk sekedar dibuat mandi. Maka dibuatlah kolam renang, yang menyedot jutaan kubik air dari sumbernya. Ikan-ikan ditangkar dalam tambak yang kemudian diperjual belikan.
Dulu sempat ada protes perihal air di Jogja. Diantara hotel-hotel yang tinggi, mewah menjulang, yang penghuninya bisa memanfaatkan air berlimpah untuk sekedar merendam diri, rumah-rumah disekitarnya kesusahan air untuk sekedar diminum. Itu baru hotel, belum rumah pribadi.
Di kota-kota kesenjangan ekonomi begitu kentara. Ada orang rumahnya megah plus kolam renang yang luas, sementara ada yang sangat miskin sampai gentong airnya pun kering.
Kalau begini kita menyadari, kemiskinan muncul bukan karena takdir, melainkan tersistem. Gempuran pola pikir yang ingin memiliki privat area, yang kemudian menciptakan kapitalisme, orang berbondong-bondong merubah hak guna menjadi hak milik.
Negera pun kadang memberikan ruang untuk itu. Hutan-hutan dikuasahi, digali tambangnya, diserahkan ke investor demi meningkatkan APBN, namun sesungguhnya menggerus kekayaan dan menciptakan kemiskinan sekitar. APBN yang besar menjadi santapan empuk para koruptor yang juga punya otak kapital nan serakah.
Bagi kita yang masih merasakan suasana kebersamaan semacam itu di desa-desa, patut kiranya terus menjaga. Kita memang tidak bisa merubah secara drastis kondisi yang ada, namun kita bisa mulai menggeser pola pikir kita soal miskin dan kemiskinan. []
Blitar, 27 Januari 2017
Tags:
Senggang