Kalau ada yang bertanya, apa pentingnya membaca dan menulis? Kadang aku tak lekas menjawab. Apalagi jika yang bertanya adalah orang tua yang anaknya suka sekali dengan dua aktivitas tersebut. Bagiku jawaban atas pertanyaan itu bersifat common sense saja. Jadi tidak perlu ditanyakan, sebenarnya sudah terbersit jawabannya.
Bahkan waktu harus menjaga stand open recruitment organisasi kepenulisan, kadang ada calon peserta yang bertanya, kalau ikut organisasi ini dapat apa? Pertanyaan super pragmatis semacam itu sebenarnya juga tidak usah langsung dijawab.
Tapi kadang kala kita pun tergoda untuk jadi marketing, menjelaskan manfaat membaca dan menulis, meskipun jawabannya cenderung dipaksakan. Misalkan, agar dapat uang tambahan, punya banyak teman, mengukir jejak dalam hidup, dll
Tapi mau bagaimana lagi, disatu sisi memang ada tuntutan agar banyak orang tertarik masuk organisasi yang kita kelola. Untuk itu promosi yang menarik harus dibuat, para pengurus pun menjelma menjadi marketingnya.
Sementara menyakinkan orang tentang pentingnya membaca dan menulis itu tidaklah mudah, betapapun caranya. Penting dalam terminologi masyarakat biasanya yang menghasilkan uang. Makanya, sesuatu yang tidak menghasilkan uang dipandang tak begitu berarti.
Saat ada yang bercerita padaku kalau Ibunya ingin dia fokus ke pelajaran eksak, dan tidak usah menulis, kadang aku tertawa geli. Kenapa dua hal tersebut harus dikonfrontasikan? Padahal orang menulis tidak harus spesifik menjadi penulis, atau jurnalis. Bisa juga ia seorang dokter, yang akhirnya menerbitkan buku-buku kesehatan. Atau seorang sosiolog, antropolog, arkeolog, dll.
Ada banyak pengusaha kaya raya yang menelepon para jurnalis, atau penulis featureagar dituliskan kisah hidupnya. Mereka punya uang untuk mendanai penerbitan dan juga membayar penulisnya. Tapi andai bisa, mereka ingin menulis kisah hidupnya sendiri. Sayangnya mereka tidak begitu lihai dalam melakukan hal tersebut, akhirnya membayar orang.
Beberapa tahun setelah mendalami ilmu kepenulisan, aku pun sedikit paham bahwa menulis itu tidak bisa terlepas dari interaksi sosial. Memang banyak yang berfikir jikalau penulis itu semacam orang yang menghabiskan waktunya di kamar untuk mengetik dan membaca. Aku pun juga punya teman yang seperti itu.
Tapi tidak untuk para Jurnalis, atau Blogger dalam berbagai spesifikasinya. Sumber tulisan mereka justru dari perjalanan, dari bertemu orang. Misalkan, ketika membaca esai-esainya Linda Christanty, banyak wawancara dan interaksi yang dicuplik.
Barangkali orang mengira, cukup dengan membaca buku, lalu puluhan paragraf bisa mengalir begitu saja. Bahkan di beberapa kesempatan, aku sering mendapati para Jurnalis yang memiliki kesibukan lain, semisal berkebun, berbisnis, atau merawat tanaman.
Lantas apa itu menulis? Semestinya tidak selalu kita samakan dengan profesi tersertifikat layaknya pegawai kantoran. Menulis adalah hal yang alamiah sekali. Betapapun ketika orang ingin jadi penulis, pada satu kesempatan dia akan mengerjakan hal lain, misalkan mengelola media atau penerbitan, atau bahkan aktivitas diluar itu.
Beberapa orang yang dikenal sebagai penulis (dalam arti banyak menghasilkan karya tulis) didapati ternyata juga seorang pengusaha, bos media, dan memiliki profesionalisme di bidang lain. Ada juga yang sebagai pejabat eselon, menteri, kepala daerah, politisi dst.
Jadi kalau ada ajakan untuk menulis, bergabung dengan komunitas menulis, jangan selalu diasosiasikan akan terlibat intens sebagai penulis dalam konteks profesi. Toh di KTP manapun tidak ada profesi menulis.
Begitu pun juga dengan membaca. Rajin membaca kadang hanya jadi slogan semata. Buktinya, orang yang banyak membaca disebutnya “kutu buku”, sebutan “kutu” ini tentu negatif. Karena kutu adalah hewan parasit yang merugikan. Anjuran membaca pun hanya sampai pada masa sekolah. Setelah bekerja, banyak yang meninggalkan aktivitas tersebut.
Karenanya kita tertinggal. Bukan semata soal ekonomi. Tapi dari berbagai segi, terutama budaya. Membaca memang tidak akan menjawab segala hal dalam kehidupan, tapi yang jarang membaca akan minim wawasan, minim persepsi, minim rasa. Minim tiga hal tersebut berdampak pada kurangnya penghayatan terhadap hidup.
Sekarang ajakan membaca dan menulis bukan lagi sekedar kampanye basa basi. Tapi itu merupakan substansi. Beruntunglah karena masih ada yang mengajak. Beruntung karena masih ada yang peduli. Toh itu untuk diri kita sendiri. Egoisnya, untuk kepentingan diri sendiri pun, kita masih meminta orang lain menjelaskannya. []
Blitar, 3 Februari 2017