Buat apa mereka harus menulis? Pertanyaan itu muncul dalam sesi diskusi bersama tim pengabdian masyarakat, ketika muncul opsi “pelatihan menulis” sebagai program yang akan diberikan untuk masyarakat setempat. Lucunya, pertanyaan tersebut justru saya yang mengajukannya, padahal seharusnya, sebagai pegiat baca-tulis, saya harus berusaha agar program tersebut bisa jalan.
“Lebih baik kita buat program yang produktif, misalkan pelatihan wirausaha,” tambah yang lain. Opsi itupun kemudian dicatat dengan rapi oleh notulen.
Sebenarnya saya pun kadang mengalami disorientasi tersendiri dengan aktivitas menulis yang selama ini saya lakukan. Sebenarnya aktivitas menulis selama ini cocoknya disebut apa? Hobi, pekerjaan, atau apa?
Kalau harus disebut hobi, rasanya kurang cocok. Kalau disebut pekerjaan, dalam arti yang menghasilkan uang, mungkin sedikit relevan, hanya saja saya merasa tidak pernah “bekerja” sebagai penulis. Apa makna dari pekerjaan menulis tersebut?
Suatu ketika, saya mengajukan proposal workshop kepenulisan sebagai salah satu program organisasi tertentu. Responnya beraneka ragam, ada yang memuji meski hanya sekedar basa-basi, ada yang terus terang berkata begini : untuk apa workshop menulis? Orang mereka cari makan saja masih susah.
Selanjutnya saya mengajukan proposal “sekolah pemikiran”. Terdengar tawa sinis yang menyayat hati. Katanya, program yang paling penting itu yang berkaitan dengan perut, karena kalau perut kosong, otak tidak bisa jalan. Isi perut lebih penting dari isi otak seperti diskusi semacam ini. Logika tidak jalan tanpa logistik.
Isi perut? Apa isinya perut? Dan kenapa harus lebih penting dari isi otak?
Saya terperanyak mendengar hal itu. Lamunan saya kemudian terbawa ke desa bendosari, Pujon Kab. Malang, tempat saya dulu magang sekaligus pengabdian masyarakat sore harinya. Saya harus mengajar TPA di Perpustakaan desa. Sekali lagi, Perpustakaan desa. Aneh kan kedengarannya?
Perpustakaan tersebut memiliki empat rak yang tingginya 50cm diatas saya. Lantainya berlubang, empat ruas penyangganya dari kayu yang sebagian termakan rayap, atapnya tanpa plafon, dindingnya putih cat kapur. Inilah rumah bagi para penikmat buku disini.
Namun kala itu saya tidak sempat bertanya, untuk apa harus ada perpustakaan di desa seperti ini? Apa ada yang mau baca? Pertanyaan semacam itu sebenarnya sangat sadis dan merendahkan. Karena dikiranya, orang desa tidak suka baca, atau tidak mau, atau bahkan tidak bisa.
Koleksi buku diperpustakaan ini setiap tahunnya bertambah, karena Mahasiswa yang KKN/PM akan menyumbang buku. Diluar dari kegiatan TPA, tempat itu sering digunakan untuk bermain anak-anak. Mungkin dulunya, sebelum dibuat perpustakaan, tempat itu adalah surau untuk mengaji, sebelum dibangun Masjid di tempat yang berbeda.
Tak perlu harus bertanya, kenapa anak-anak desa itu harus membaca? Kita sendiri sudah tahu jawabannya. Situasi yang pernah kita lihat dalam film Laskar Pelangi, ketika mereka harus bertanya, untuk apa sekolah? toh, anak cerdas seperti Lintang pada akhirnya hanya menjadi supir. Istilah “hanya” itu terdengar kejam, bukan?
Saat Linda Christanty memberikan pelatihan menulis untuk korban konflik RI-GAM di Aceh, bahkan ada yang bertanya, menulis menghasilkan apa? Kalau berkebun menghasilkan panen, memasak menghasilkan makanan. Kalau menulis, menghasilkan apa? Tulisan? Untuk apa tulisan?
Namun suatu waktu teman saya yang kuliah Jurusan Psikologi bercerita banyak hal seputar ampuhnya menulis. Katanya, saat mendampingi korban konflik agama (atau lebih tepatnya kepercayaan), mereka tak mau menjawab satu pun pertanyaan yang diajukan relawan pendamping psikologi.
Mereka tidak berani berbicara soal konflik, mereka takut salah, mereka takut kalau berbicara, nyawanya terancam. Mereka trauma berat. Benar-benar trauma. Sampai kemudian, salah satu relawan berinisiatif memberikan mereka beberapa lembar kertas.
“Kalau bapak Ibu tidak ingin bercerita secara lisan, bapak ibu bisa menuliskannya, tidak perlu diberi nama,” pintanya. Namun mereka bingung bagaimana harus memulainya. “bapak dan ibu Cuma tuliskan tiga kata saja, apa yang bapak dan ibu rasakan di tempat ini?” lanjutnya.
Kemudian mereka pun menulis. Sebagian besar menulis TAKUT, SEDIH, BOSAN, dan MARAH. Lalu dari satu kata tersebut, diminta menulis alasan dalam satu kalimat. Kenapa takut? Kenapa sedih? Kenapa bosan? Kenapa marah?
Tak disangka, energi beberapa orang benar-benar tercurahkan dalam lembaran kertas tersebut. Bahkan ada yang menulis sambil menangis terisak-isak. Seolah apa yang selama ini terpendam benar-benar mereka ungkapkan, mereka ceritakan, bahasa tulis itu benar-benar menggantikan lisan mereka yang terbungkam karena takut dengan ancaman.
Untuk itulah mengapa mereka harus menulis? Mungkin benar, itu salah satunya, ada banyak energi yang bisa kita salurkan melalui bahasa tulis, yang tidak mungkin disampaikan dengan bahasa lisan. []
Blitar, 3 Maret 2017
A Fahrizal Aziz
Tags:
buku