Perjalanan Menulis (bag. 29)



Adil Dalam Memberitakan


Di hari kedua Workshop Jurnalisme Keberagaman, ada materi menulis feature yang disampaikan Ade Armando, dosen UI sekaligus mantan Wartawan Republika. Nama Ade Armando mencuat ketika ia menjadi pendukung Jokowi, dan belakangan menjadi pendukung Ahok.

Postingan-postingannya di sosial media, terutama di facebook, selalu mengundang perhatian tersendiri. Namun jika bertemu langsung, entah kenapa kesannya jauh berbeda. Bang Ade begitu santai dan interaktif, tidak terkesan galak dan keras seperti postingannya di sosial media.

Sebelumnya, berlangsung materi tentang Jurnalisme Perspektif Keberagaman yang disampaikan Ahmad Djunaidi. Wartawan senior koran berbahasa Inggris tersebut sekaligus menceritakan buku bersampul ungu berjudul “PORNO” yang merupakan Tesis s2-nya dalam studi gender.

Buku tersebut dibagikan ke semua peserta workshop, plus satu buku kumpulan esai berjudul “Jurnalisme Keberagaman” sebagai buku Panduan Liputan.

Ahmad Djunaidi menjelaskan betapa banyak berita yang tidak adil dalam penyampaiannya, terutama jika terkait dengan perempuan. Ia menyitir beberapa koran yang mendeskreditkan korban dalam setiap pemberitaannya, semisal kasus pemerkosaan.

Disana Ahmad Djunaidi menjelaskan kalimat yang tidak memiliki empati kepada korban. Misalkan ditulis : Seorang perempuan ketahuan hamil karena diperkosa, untungnya pemerkosa bersedia menikahinya.

Kata “untungnya” disini menurut Ahmad Djunaidi menunjukkan jika wartawan itu tidak memiliki empati terhadap korban, dan tentu salah menyebut bahwa dinikahi orang yang telah memperkosanya dianggap sebuah keuntungan.

Dalam beberapa hal, media pun menjadi alat dalam membangun persepsi publik. Bisa dibayangkan jika seorang wartawan tidak memiliki perspektif yang baik tentang isu tertentu, terlebih tidak memiliki empati kepada siapa yang harusnya dibela.

Pembelaan dalam konteks pemberitaan berbeda dengan pemihakan. Sebagaimana 4 fungsi pers, yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dalam konteks penindasan yang dilakukan oleh penguasa, jurnalis harus membela korban yang tertindas. Ia harus kritis terhadap pemerintah. Begitupun dalam konteks lain, seperti kasus pemerkosaan. Jurnalis harus membela orang yang membutuhkan keadilan.

Pemberitaan tentang kasus pemerkosaan diatas tentu tidak adil bagi pihak perempuan, yang jelas-jelas sedang membutuhkan keadilan atas apa yang menimpanya. Kesuciannya hilang, nama baiknya hancur, dan harus menikah dengan orang yang tidak ia harapkan sama sekali, bahkan cenderung ia benci.

Media turut “memperkosa” psikologisnya. Sehingga perempuan itu mengalami tiga kali pemerkosaan. Diperkosa secara fisik, secara sosial karena mendapatkan citra buruk di masyarakat, dan oleh media massa.

Dalam konteks keberagaman kemudian agak bergeser, agak sensitif ketika itu menyentuh berita seputar LGBT, yang dalam beberapa hal cenderung mengalami ketidakadilan.

LGBT juga punya hak sebagaimana warga negara, meski dia memiliki orientasi seksual yang—dalam konteks agama—tidak lazim. Terutama hak untuk hidup, hak pendidikan, hak politik, dan sederet hak lainnya. Termasuk hal untuk menjalin hubungan asmara.

Terjadi kontra ketika membicarakan hak untuk menikah. Saya sendiri berpendapat, bahwa hak itu bisa diusulkan, namun hak untuk menikah belum ada bagi sesama jenis. Artinya, itu belum menjadi hak. Lagipula pernikahan di Indonesia masih dilakukan dengan cara-cara keagamaan, sehingga sangat mustahil untuk dilegalkan.

Konsep keadilan dalam aspek ini menjadi sedikit absurd. Karena definisi tidak adil tersebut adalah ketika seseorang tidak bisa mendapatkan haknya. Sementara menikah dengan sesama jenis belum menjadi hak yang sah diputuskan.

Kita boleh melakukan pembelaan semisal ada yang mengaku LGBT, namun ia dipersulit untuk urusan Pendidikan, atau bahkan mendapatkan ancaman pembunuhan. Karena itu merupakan hak bagi semua warga, baik yang LGBT atau bukan.

Termasuk hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, meski yang bersangkutan mengidap penyakit HIV/Aids. Sebagian dari kita mungkin berfikir begini : salah sendiri aneh-aneh, rasain terkena penyakit.

Namun kita juga harus tahu jika HIV/Aids bukan saja menyerang LGBT, ada juga Ibu rumah tangga, pengguna narkoba, atau PSK. Siapapun memiliki hak mendapatkan pelayanan kesehatan, apapun sebab penyakit yang ia derita.

Berfikir adil itu memang tidak mudah. []

Blitar, 3 April 2017
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak