Hujan masih mengguyur Malang ketika saya berada di Gramedia Matos, keliling mencari buku apa yang sekiranya cocok dijadikan koleksi. Kebetulan ada sisa uang dari beasiswa DIPA, setelah digunakan untuk membayar SPP semester.
Ini harusnya masuk musim kemarau, tapi entah kenapa hujan turun, di bulan Juni pula. Jadi teringat sajak Sapardi Djoko Damono yang terkenal, Hujan Bulan Juni. Apa mungkin hujan akan turun di bulan Juni?
Ternyata iklim sudah tak menentu, seperti hati manusia yang mudah terbolak balik tak menentu.
Di rak buku-buku sastra, ada novel supernova dengan cover terbaru. Tidak simbol polos. Dulu saya kira supernova itu sejenis buku tentang tata surya, ternyata itu novel berseri. Tapi saya belum tertarik.
Nama Dee Lestari atau Dewi Lestari bukan nama yang asing. Saya tahunya dia penyanyi, ketika mendengar "Malaikat Juga Tahu" yang sempat hits waktu itu. Bahkan Dewi Lestari jadi nominasi penyanyi solo perempuan terbaik AMI Awards 2009.
***
Di sudut tertentu ada koleksi Majalah, Tabloid, dan Koran dari beragam spesifikasi. Di bawah ada beberapa eksemplar Majalah Horison 'telanjang', tanpa pembungkus plastik seperti majalah-majalah lain. siapapun bisa tahu isinya tanpa harus membeli, atau sekedar membaca di tempat.
Di sudut tertentu ada koleksi Majalah, Tabloid, dan Koran dari beragam spesifikasi. Di bawah ada beberapa eksemplar Majalah Horison 'telanjang', tanpa pembungkus plastik seperti majalah-majalah lain. siapapun bisa tahu isinya tanpa harus membeli, atau sekedar membaca di tempat.
Dibandingkan majalah lain, terutama majalah entertaintment, Horison nampak seperti kakek tua yang jompo. Kalah dari segi cover, ilustrasi, foto-foto, sampai kualitas kertas. Mungkin karena harganya yang lebih murah, atau mungkin karena ini majalah sastra, maka dibuat "sepolos" mungkin.
Saya akrab dengan majalah ini, sebab dulu sekolah Aliyah saya berlangganan--atau lebih tepatnya selalu mendapatkan kiriman--dari Dinas Pendidikan. Ada Majalah Horison khusus untuk sekolah, di pojok kanan atas cover tertulis "Tidak diperdagangkan".
Namun Horison yang ada di toko buku ini tidak ada keterangannya. Saya juga tidak tahu apa bedanya Horison edisi sekolah dengan Horison edisi umum, alias yang diperdagangkan.
Di dalamnya sama-sama terdapat rubrik kaki langit, yang menampung cerpen dan puisi karya pelajar, terutama pelajar SMP/Mts, SMA/MA sederajat. Yang dimuat juga mungkin dapat honor. Bayangkan betapa senangnya ketika pelajar mengirimkan karya, dimuat dan mendapat honor dari usahanya sendiri.
Mereka yang aktif membuat karya sastra sejak usia sekolah, rata-rata memang siswa/i yang aktif. Karena membuat karya sastra itu tidak gampang, juga bukan karena bakat. Itu murni karena kebiasaan membaca dan minat.
Lagipula tidak banyak sekolah yang peduli dengan hal-hal yang berbau sastra. Mungkin juga karena kurang populer dibandingkan event lain seperti Olimpiade MIPA atau kegiatan Olahraga. Meskipun lomba yang berkaitan dengan kesusastraan juga banyak jumlahnya.
Selama Aliyah juga, saya lebih aktif belajar menulis berita dan opini, daripada karya sastra. Karena memang tidak ada wadah untuk mengasah kemampuan menulis karya sastra.
Meskipun berada di kelas bahasa, tapi yang menonjol dan dielu-elukan tetap yang pandai Matematika. Karena di sekolah, anak pintar itu identik dengan kesanggupan mengerjakan soal matematika.
Akhirnya banyak yang pandai hitung-hitungan, main kalkulasi, untung rugi. Fikirannya terolah dengan baik, cerdas menafsir selincah ia mengerjakan soal-soal algoritma.
Bahasa pun sebenarnya juga simbol, yang menciptakan bunyi. Coba lihat bentuk huruf dan angka. Toh sama-sama simbol. Tapi ketika huruf berpasangan dengan huruf lain, bisa menciptakan bahasa, bunyi, dan makna yang bisa dipahami seperti tulisan ini.
Sementara simbol angka memerlukan simbol huruf agar bisa dimengerti. Anda bayangkan jika matematika tanpa bahasa? Simbol matematika tidak mengenal vokal atau konsonan.
€¥£ = +_%
Bisa dibayangkan pula jika hidup tanpa bahasa? Sayangnya penghargaan kita terhadap bahasa begitu rendah, dibandingkan penghargaan kita dengan hal-hal yang memerlukan bahasa, seperti ilmu hitung dan ukur lainnya.
Saya pun, meski sering membaca Horison sejak Aliyah, namun belum pernah sekalipun mengirimkan karya, karena ketidak mampuan menulis karya sastra. Sampai terdengar kabar tahun lalu, jika Horison versi cetak berhenti terbit, menyusul Koran dan Majalah lain yang sudah gulung tikar terlebih dahulu. []
Blitar, 18 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
Sastra