Hoax bisa terjadi karena kesalah pahaman. Persis seperti esai yang pernah ditulis Prie Gs berjudul “Jurnalisme kasak kusuk”. Kasak kusuk selalu simpang siur, antara logis dan tak logis. Tak jarang media massa yang harus memberikan hak jawab kepada seseorang atau lembaga, karena ternyata berita yang mereka terbitkan sebelumnya tidak benar. Padahal dalam dunia jurnalisme dikenal istilah cover both side, kalau belum yakin validitasnya, ya jangan diterbitkan.
Tapi nyatanya, tak sedikit media yang kepleset, yang akhirnya mau tidak mau memberikan hak jawab. Kalau itu karena faktor kesalahan yang alamiah, hoax justru sebaliknya, yaitu memang sengaja diplesetkan untuk memberdayakan orang yang membaca atau mengkonsumsi informasi tersebut. Bukan lagi salah paham, tapi memang sengaja disalah pahamkan.
Itu tentu berbeda dengan fake news atau berita palsu. Seperti fake accountdi jejaring media, yang mengatasnamakan artis atau tokoh untuk kepentingan tertentu. Entah hendak menjatuhkan, atau hanya ingin meraih banyak follower dengan memanfaatkan popularitas public figur tersebut. Fake news atau berita palsu jelas tidak memiliki data yang akurat, yang layak diangkat menjadi berita.
Lalu hoax? Hoax lebih cocok disebut berita yang diplesetkan, sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga nampak akurat, disertai dengan beragam fakta pendukung, untuk memperdayakan masyarakat. Levelnya bukan lagi membohongi, tapi sudah memperdayakan. Kalau hanya sekedar bohong, orang masih akan menimbang-nimbang dengan logikanya, apa iya ini benar? Kecuali jika logikanya memang sudah tumpul.
Kalau memperdayakan, orang yang membaca sekilas nampak yakin kalau itu asli. Bahkan terpancing. Keterpancingan tersebut menimbulkan sinis, emosi, bahkan rasa tidak suka yang berlebih. Ciri-ciri orang yang terpancing hoax bisa kita amati dengan mudah sekarang ini.
Ini fenomena yang tentu sangat mengerikan, dan harus lekas dicari penangkalnya. Seperti kata Davis Kushner, bahwa hoax hanyalah gejala. Penyakit utamanya adalah matinya logika untuk berfikir lebih kritis.
Jadi untuk menangkal hoax, selain mengetahui ciri-ciri berita hoax, yang paling esensial adalah menumbuhkan logika yang kritis. Karena tak terlalu berarti jika kita terus memposisikan diri sebagai konsumen informasi, tanpa mau menelaah lebih kritis. Jangan hanya kritis dengan harga sembako yang melambung, tapi juga harus lebih kritis dengan informasi yang beredar. []
Blitar, 11 Agustus 2017
Tags:
Hoax