Kalau 2019 masih terlalu cepat?
Obrolan masuk soal politik, soal keaktifan di partai politik, juga aktivitasnya mengelola proyek pembangunan jalan, gedung, dan lain sebagainya. Saya ingat salah seorang senior di organisasi ini, juga pernah maju sebagai caleg dari partai yang Ketua Umum Pusatnya dulu Pak Wiranto. Sayang, jumlah suara yang ia dapatkan belum bisa mengantarkannya menjadi anggota dewan.
Siang itu kami sama-sama menghadiri sebuah diklat ekstrakurikuler. Kami pernah menjadi ketuanya, tentu pada era yang berbeda. Dia lebih senior, lebih powerful, terutama ketika berpidato atau ketika sesi drama terakhir diklat, ketika seolah-olah dibuat konflik dua arah. Meski drama tersebut pada diklat kali ini ditiadakan.
Sangat kontras dengan saya yang lebih soft, yang memang suka menulis. Beberapa kali kami bertemu di jalan, dan setiap kali ada moment seperti ini, dia selalu berkata habis meninjau proyek. Karenanya ia akrab dengan banyak orang, terutama pemilik toko bangunan. Seringkali juga, ia mencari orang yang ingin bekerja. Baru kali ini saya memahami istilah “kerja di proyek”.
“Mau nyaleg juga mas?” tanya saya setengah bercanda, namun juga setengah serius, karena saya tahu dia aktif di salah satu parpol, dan sempat bertanya tentang Ustad tertentu, yang dulu juga aktif di partai tersebut. Saya dekat dengan Ustad itu, terutama ketika mengelola Kerohanian Islam (Rohis) waktu masih Aliyah dulu.
Sekarang kalau jadi pengurus parpol tapi tidak nyaleg, apalagi? Minimal dapat posisi, atau mungkin ‘kecipratan’ projek. Jangan diartikan dua hal itu negatif. Sebab negatif positifnya tergantung yang menjalankan, dan mungkin juga bagian dari sumbangsih. Jika misalkan, ia menjadi aspirator masyarakat karena infrastruktur di daerahnya kurang menunjang, lalu proyek jalan dan dia bisa mempekerjakan usia-usia produktif yang sedang menanti pekerjaan.
Mungkin 2024, butuh persiapan, baik modal maupun pengalaman. Jelasnya, meski sebelumnya juga terselipkan perbincangan akan maju sebagai lurah terlebih dahulu. Terlepas dari setuju atau tidak, namun sepertinya senior ini punya fikiran jangka panjang yang baik soal “karir politiknya”. Tidak tiba-tiba nyaleg, lalu jual sawah dan rumah demi membiayai kampanyenya. Meskipun maju dalam kontestasi politik memang berbiaya mahal.
*
Beberapa waktu lalu, saya juga dapat kabar ada dua partai baru yang lolos verfikasi KPU, yang sedang membutuhkan bacaleg 2019. Bahkan secara terbuka membuka pendaftaran, dan diinformasikan ke media. Apa ini sejenis lowongan pekerjaan? Meski pada intinya Parpol hanya sebagai kendaraan, menuju kursi dewan.
Ada parpol yang dikelola oleh anak-anak muda, yang nekat berpolitik. Di daerah mereka juga membuka pendaftaran keanggotaan. Masalahnya, orang-orang yang pasti maju kembali sebagai Caleg, adalah mereka yang memiliki modal kapital cukup. Persaingan memang berat, tapi tidak ada yang mustahil, apalagi di era digital ini, pemilih pemula yang dengan mudah dijangkau melalui sosial media.
Andai saya punya cukup dana, mungkin juga akan tergoda. Tapi apa semudah itu menang? Nanti kalau kalah bisa bahaya. Politik tidak murah. Tapi mungkin 2024 nanti akan beda, jika hati terpanggil, dan rezeky dimudahkan. Aamiin.
Blitar, 2 Maret 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com