Ahmad Fahrizal Aziz
Melalui Permendikbud nomor 14 tahun 2018, penerimaan peserta didik baru (PPDB) akan menggunakan sistem zonasi. Terutama untuk tingkat sekolah menengah.
Kriteria penerimaan murid baru lebih memprioritaskan pada jarak atau radius terdekat dari sekolah. Bukan pada nilai UN, atau prestasi non akademik lainnya.
Bahkan, Kemdikbud mensyaratkan minimal 90% siswa baru harus berdomisili pada radius zona terdekat. 5 persen sisanya untuk jalur prestasi, 5 persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam.
Jadi, misalkan si A ingin sekolah di luar zonasinya, tetap terbuka peluang, meski hanya 5%. Itupun karena memiliki prestasi tertentu, sehingga diprioritaskan.
Jika demikian, maka pemerintah semacam mewajibkan siswa "mengisi" sekolah terdekat mereka. Kompetisi antar sekolah bisa sedikit diminimalisir, sebab sekolah sudah bisa membayangkan calon siswa baru mereka, berdasar kebijakan ini.
Karena itu, bisa saja terjadi pemerataan. Meski ada juga dampak negatif lain, seperti menurunnya gairah belajar, karena siswa masuk pada sekolah yang tak diinginkan.
Sebab paradigma sekolah maju dan terbelakang, favorit dan buangan, sudah kadung melekat, selama puluhan tahun.
Waktu lulus SD, saya berhasrat sekolah ke kota, ke sebuah Tsanawiyah yang sedang naik daun waktu itu. Alasannya karena sekolahnya maju : siswanya pilihan, gurunya kompeten, fasilitas belajar cukup lengkap, dan iklim belajarnya kondusif.
Beda dengan sekolah yang siswanya sering terlibat tawuran, kompetensi gurunya diragukan, gedungnya tak terurus, dan fasilitas ala kadarnya.
Sekilas ada nuansa kompetisi. Ada ikhtiar yang lebih dari pengelola sekolah, sehingga sekolahnya maju. Publik kemudian menilai, mana pengelola sekolah yang inovatif dan visioner, dengan yang asal jalan.
Makanya, ada kriteria sekolah maju dan tidak maju. Sekolah maju akan banyak peminat, income dari SPP besar, program-program sekolah bisa berjalan karena didukung wali murid, penyaluran minat-bakat makin terwadahi.
Belum lagi jika siswanya banyak berprestasi, pemerintah pun ikut senang, sehingga program sekolah tersebut akan diprioritaskan, termasuk soal pendanaan misalnya. Lembaga Funding pun juga mudah masuk.
Karena mendapat label sekolah maju, maka untuk masuk pun butuh kriteria lebih. Selain Nilai rapor/hasil UN yang tinggi, prestasi tertentu juga jadi pertimbangan, misalkan dalam bidang seni dan olahraga.
Artinya, sekolah pun juga memainkan branding. Ada kompetisi. Ada yang bisa menyedot banyak peminat, ada yang tidak laku.
Dengan sistem zonasi, maka kriteria di atas mungkin tak begitu berlaku. Sebab sekolah sudah "ditakdirkan" mendapatkan siswa dari lingkungan sekitar, atau dalam zona kelurahan dan kecamatan.
Apalagi jika dalam zona tertentu, jumlah penduduknya sangat padat. Sekolah tidak perlu sibuk promosi, tidak perlu capek membranding, siswa sudah datang dengan sendirinya.
Sekolah-sekolah favorit, terutama yang negeri, juga tidak lagi mematok kriteria tertentu. Status mereka akan sama dengan sekolah negeri lainnya, yang sebelumnya tidak begitu diminati.
Apakah kedepan, terutama dalam 3 tahun kedepan, tidak ada lagi label sekolah favorit? Sebab siswa tak begitu punya preferensi untuk menentukan sekolah mereka.
Sebenarnya saya kurang setuju dengan sistem ini, sebab sekolah adalah pilihan. Hanya saja mungkin pemerintah punya pertimbangan lain, terutama pemerataan. Mengingat ledakan penduduk yang besar.
Akan tetapi, apakah kebijakan ini nantinya bisa melecutkan sekolah-sekolah untuk lebih berprestasi, atau justru semangat makin kendor sebab tidak ada lagi kompetisi?
Ibaratnya, kerja keras atau tidak, tak begitu berpengaruh. Siswa pun juga tidak lagi punya sekolah impian. Pergaulan mereka pun juga hanya pada zona sendiri. []
Blitar, 30 Mei 2018