Benarkah gerakan 2019 ganti Presiden resmi dilarang? Tentu ini menarik disikapi, sebab ada hal-hal tersembunyi di dalamnya, ada banyak tafsir dan rawan ditumpangi.
Apakah gerakan ganti Presiden itu berarti mengganti Jokowi? Bisa iya bisa tidak. Iya karena sekarang Presidennya Jokowi, kenapa tidak langsung saja buat gerakan 2019 ganti Jokowi?
Bisa tidak karena Presiden yang dimaksud bisa diartikan sebagai pemimpin tertinggi sebuah negara. Artinya ganti Presiden bisa ditafsir mengganti model kepala negara, sebagaimana tafsir Gus Muwafiq, Presiden nantinya bisa diganti dengan Khalifah atau Perdana Menteri.
Jika itu terjadi, maka parlemen akan ramai, jika misal eksekutif akhirnya dikuasai oleh penggerak ganti presiden yang dalam tafsir kedua itu tadi.
Apakah gerakan ganti Presiden itu kemudian juga dalam rangka memenangkan Prabowo? Bisa iya bisa tidak. Iya karena jelas hanya dua pasang yang bertanding dalam Pilpres 2019. Artinya tidak ada orang selain Prabowo yang berkesempatan mengganti Jokowi dalam kontes politik elektoral.
Bisa tidak karena meski sudah jelas ada nama calon pengganti, namun yang digaungkan tetap ganti Presiden. Maka tafsir kedua tadi makin kuat, makin menemukan legitimasinya.
Ada yang menyebut tafsir kedua itu berlebihan, namun sebagai sebuah persepsi itu wajar saja, sebab jika benar terjadi, dampaknya bisa mengerikan.
Peristiwa sejarah bisa terulang, Pemerintah dan DPR akan sibuk berdebat soal sistem. Tidak ada waktu untuk kerja, sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan, sampai Soekarno harus mengeluarkan dekrit Presiden 1959.
Artinya, sebagai sebuah gerakan politik, 2019 ganti Presiden lebih baik dilarang, dan pemerintah punya hak untuk itu.
Sebab Pilpres 2019 sudah jelas terlihat, siapa yang berkompetisi. Tidak perlu lagi memainkan isu abu-abu. Sudah terang benderang. Apakah Jokowi lagi, atau ganti Prabowo yang akan jadi Presiden.
Karenanya, untuk meminimalisir kemungkinan tafsir kedua, pelarangan tersebut bisa sebagai upaya preventif. []
Blitar, 5 September 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
Politik