Rabu, 8 Januari 2020
Waktu sekolah adalah masa emas untuk belajar, merengkuh banyak pengalaman, dan menguasahi bermacam keahlian. Sebab waktunya memang khusus untuk hal itu.
Sejak bangun tidur, sampai jelang tidur lagi. Hidup masih ditanggung orang tua : biaya sekolah, makan sehari-hari, fasilitas kendaraan, gawai, dan sebagainya disiapkan oleh orang tua.
Bisa fokus untuk sekolah. Tidak perlu memikirkan cicilan motor, tagihan air, listrik, bank mingguan hingga BPJS.
Artinya, sekolah adalah masa-masa emas untuk mengembangkan diri. Sejak SD hingga SMA, selama 12 tahun, harus ada yang membekas, harus ada perubahan dalam diri. Apalagi jika ditambah S1, S2, dan seterusnya.
Sayangnya, momentum emas itu kadang terlewat begitu saja. Menyesal dan gusar setelah lulus. Tidak banyak perubahan dalam diri, selain hanya fisik yang memang tumbuh sebagaimana mustinya.
Sejak SD sampai SMA belajar bahasa Indonesia, setelah lulus kemampuan berbahasanya juga tak bagus-bagus amat, apalagi bahasa tulis. Terlihat bagaimana meracik kalimat ketika menulis unggahan di sosial media. Kesalahan penggunaan tanda baca yang tak bisa ditolerir.
Selama 12 tahun belajar sejarah Indonesia, setelah lulus juga tak tahu atau lupa beberapa nama dan peristiwa sejarah yang pernah terjadi.
Bertahun-tahun belajar bahasa Inggris, setelah lulus hanya ingat sedikit saja, bahkan ikut les tambahan ketika kemampuan itu diperlukan untuk kepentingan lanjut studi atau kerja.
12 tahun sekolah, masih juga demam panggung, tidak percaya diri, tidak memiliki keahlian tertentu, tidak punya pengalaman organisasi, tidak pernah ikut lomba/kompetisi, dan yang tersisa hanya kenangan asmara dengan si A dan si B yang jauh dari substansi pendidikan.
Sedikit banyak, itulah yang saya rasakan. Setelah lulus Aliyah, selalu ada perenungan tersendiri. Kenapa dulu pas sekolah kurang serius, misalnya untuk pelajaran bahasa.
Juga perenungan, kenapa saya baru ikut ekstrakurikuler ketika masuk SMA? Kenapa tidak sejak SMP? kenapa tidak ikut lomba ini dan itu? kenapa tidak aktif di komunitas?
Apa saja yang saya lakoni selama sekolah? Bahkan setelah lulus pun seperti ada hal-hal yang belum tuntas.
Karena itu, masa sekolah harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Menemukan kenyamanannya sendiri, entah dalam bidang mata pelajaran tertentu, atau kenyamanan di ekstrakurikuler.
Barangkali, kebosanan ketika di kelas bisa disegarkan lewat ekstrakurikuler.
Karena menurut saya, murid yang terlalu pintar di kelas itu agak nanggung. Misalnya, nyaris semua mata pelajaran dia mendapat nilai tinggi. Nanggung karena kepintarannya kurang spesifik. Padahal, guru-guru kemampuannya sangat spesifik.
Guru biologi tidak mungkin mengajar TIK. Guru penjaskes tak akan mengajar SBK. Guru PKN juga mustahil mengajar MTK.
Namun siswa harus mendapatkan semuanya, dan dituntut mendapatkan nilai di atas rata-rata untuk semua mata pelajaran.
Padahal, hidup itu spesifik pada satu atau dua keahlian saja. Bisa jadi murid A dapat nilai standar pada pelajaran MTK, namun nilai penjaskesnya bagus.
Bisa jadi ada murid yang nilai mata pelajarannya standar, namun kemampuan berorganisasinya bagus. Organisasi yang ia pimpin berkembang dan banyak prestasi.
Intinya, pada bidang apa yang sekiranya potensi murid bisa dikembangkan, itulah yang harus terus dilatih, dan masa sekolah adalah masa emas untuk mewujudkan itu.
Sebab ketika sudah kuliah, atmosfirnya berbeda. Jika sekolah adalah masa pengembangan, kuliah nyaris seperti masa pembuktian. Pengalaman dan kecakapan selama sekolah seolah diadu.
Jika tidak bisa menyesuaikan bisa tergeser, atau tidak ada ruang. Kuliah hanyalah tempat untuk mereka yang sudah siap dan terlatih selama masa sekolah.
Pengalaman di OSIS, Ekstrakurikuler, ikut kompetisi, keseriusan di kelas, dan sebagainya menjadi nilai tawar tersendiri.
Mumpung masih sekolah, dan mumpung sebagian besar waktu dihabiskan untuk itu, maka jangan sia-siakan. 12 tahun adalah waktu yang lama, tak kurang dari 4380 hari dilalui. Sepanjang waktu itu, apa saja yang sudah terjadi?
Kedai Muara
Ahmad Fahrizal Aziz
www.muara-baca.or.id
Foto by panitia Ketemu Buku Blitar
Tags:
refleksi