Ahmad Fahrizal Aziz
Dari Kampung Mint Blitar (KMB) Pakunden, saya langsung menuju Dhedaunan Waroenk. Tempat makan yang didesain serba hijau, dengan aneka tanaman yang mengelilinginya.
Waroenk itu belakangan menjadi tempat favorit berkumpulnya pegiat FLP Blitar. Biasanya pertemuan rutin di Perpustakaan Bung Karno.
Pak Heru Patria sudah membuka perbincangan. Saya terlambat karena harus mengisi Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar (PJTD) LPM Freedom Unisba.
Meski kedatangan pagi itu punya banyak tujuan, salah satunya ingin mencicipi Tamie Cap cay dan kopi hitam. Kebetulan juga pagi itu belum sempat ngopi.
Tujuan utamanya, tentu meramaikan pertemuan, melihat bagaimana wadah belajar menulis yang kembali dirintis pada 2015 ini, terus bergeliat.
Tepat saat saya "pensiun" sebagai pengurus, Pak Heru Patria datang mengisi ruang minggu ketiga yang diagendakan sebagai Temu Penulis.
Agenda yang dibuka selebar-lebarnya, bagi siapapun. Tidak terbatas harus anggota FLP Blitar, juga tidak terbatas usia, latar belakang, profesi, dan semacamnya. Benar-benar terbuka.
Maka tak heran jika agenda Temu Penulis ini seperti ruang baru, sekalipun teman-teman pegiat juga tengah merancang tiga kelas sekaligus : kelas puisi, cerpen, dan nonfiksi.
Dalam sebulan, sudah ditentukan agenda minggu pertama sampai keempat. Sudah ditargetkan akan terbit buku setiap 3 bulan sekali. Sebuah semangat yang luar biasa, dan saya pun turut mendoa semoga bisa terlaksana.
Dukungan dari Perpustakaan juga masih menanti, seperti misalnya mengadakan event momentual di Ampiteater, entah parade puisi, monolog, dan sebagainya.
Juga program lainnya yang sempat direncanakan, seperti program kunjungan ke sekolah atau goes to school. Mengingat ada beberapa sekolah yang meminta dikunjungi dan belum sempat terealisasi.
Intinya, sebagai sebuah komunitas semi organisasi, FLP Blitar sangat sibuk. Padahal, masing-masing dari kami hanya menyediakan waktu minimal sekali dalam seminggu untuk bertemu. Itupun tak selalu komplit.
Teringat beberapa pesan yang masuk ke facebook, Whatsapp, atau instagram, yang menanyakan bagaimana caranya bergabung.
Juga teringat beberapa dari kami diundang untuk talkshow di radio, memperkenalkan program dan agenda komunitas.
Buah ketekunan dan konsistensi, barangkali. Meski tak sedikit yang keluar masuk. Ada yang merasa hepi karena akhirnya bisa menemukan wadah dan teman belajar, ada yang merasa kecewa karena tak menemukan apa yang dicari.
Biarlah, lagipula belajar menulis dengan mengurus komunitas/organisasi itu dua hal yang berbeda. Ibarat sekolah, menjadi siswa atau guru, atau stafnya. Menjadi orang yang belajar, mengajar, atau memersiapkan agar ruang belajar selalu tersedia.
Suatu kebahagiaan ketika komunitas ini bisa menjadi wadah, bertemunya mereka yang ingin belajar dan ingin berbagi ilmu, atau dua-duanya. Belajar sekaligus berbagi.
Toh pada intinya, hidup adalah belajar. Apalagi penulis, yang kata Bunda Sinta Yudisia, adalah pembelajar seumur hidup.
Dengan berbagi kita juga akan belajar, pun dengan bersusah payah mempertahankan keberlangsungan komunitas.
Sungguh, ini suatu usaha yang tak mudah, juga tak selalu berjalan mulus. Bumbu-bumbu perdebatan tak jarang muncul. Pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan materi.
Betapa membangun wadah itu tak mudah, butuh kebersamaan, konsistensi, ide-ide brilian, jejaring, dan belajar mengelola ego.
Wadah ini, bisa jadi sumbangan kecil kita pada semesta yang terus bergerak. Menulis adalah dialog panjang dan mendalam pada diri sendiri, pada realitas yang kita jalani, dan kepekaan pada sekitar yang tak henti kita tafsiri. []
Blitar, 21 Januari 2020
www.muara-baca.or.id
Tags:
Sekitar Blitar