Semakin Menjauh dari Cerpen dan Novel




Hidup saya seperti mengalami beberapa fase, terutama dalam kesukaan membaca.

Fase Tsanawiyah sampai Aliyah, adalah suasana ketika membaca cerpen dan novel terasa begitu asyiknya. Bahkan dalam hitungan hari, satu novel bisa khatam.

Novel-novel Kang Abik, yang kala itu sedang hits, seperti KCB 1&2, Dalam Mihrab Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, dan Ayat-ayat Cinta, bisa selesai saya baca dalam waktu cepat.

Novel-novel lawas seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga sudah saya baca jauh sebelum difilmkan. Termasuk roman legendaris Siti Nurbaya, yang jujur membuat saya pusing karena nyaris semua tokohnya dimatikan.

Tetralogi Laskar Pelangi, sampai pada Maryamah Karpov saya selesaikan tepat menginjak semester 1 perkuliahan. Lainnya, tak semua saya ingat. Namun novel pertama yang saya baca adalah La Barka karya NH Dini.

Tak menyangka, selama Aliyah sudah banyak novel saya khatamkan. Itu belum termasuk novel-novel terjemahan seperti karya Agatha Christie dan Joestin Gaarder.

Belum juga termasuk karya novelis favorit saya, Dee Lestari, yang bahkan seri Intelegensi Embun Pagi pun belum saya khatamkan hingga sekarang.

Padahal kala itu, antara bacaan dan latihan menulis sangat berbeda. Aktif di Ekskul Jurnalistik, menjadi ketua saat kelas XI, dan lebih banyak berlatih menulis berita. Meskipun ada beberapa novel juga yang saya buat dengan tulisan tangan, untuk sekadar mengisi rasa penasaran.

Dulu, menulis novel itu terasa asyik. Mengimajinasikan tempat, tokoh, dan peristiwa. Rasanya puas sekali.

Ketika masuk fase perkuliahan, sesekali saya membaca novel. Misalnya, novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer saya baca saat kuliah.

Namun lebih banyak membaca buku lain, terutama buku penelitian dan pemikiran. Dari karya sastra masuk pada lorong baru, dunia intelektualisme dan aktivisme.

Mulai bersinggungan dengan teori perubahan, teori struktural, teori konflik, dan teori-teori lainnya.

Apalagi ketika kampus kedatangan Dr. Moeslim Abdurrahman, sahabat Gus Dur itu, yang bukunya berjudul "Suara Tuhan Suara Pemerdekaan" dibedah.

Ini seperti fase baru, yang membuat saya makin tertarik. Membahas pemikiran Karl Marx, Paolo Freire, Ali Syariati, dll. Sementara, bacaan lain termasuk novel dikesampingkan dulu.

Membaca buku pemikiran itu sungguh berat, yang lebih ringan membaca esai-esai di koran. Sesekali menulisnya. Pada fase ini menulis esai jadi suatu keasyikan.

Tiap kali diundang untuk mengisi diskusi saya sempatkan menulis esai 2-3 halaman sebagai pengantar.

Minimal tiap minggu menarget harus ada satu esai/opini yang masuk koran. Selain sebagai portofolio karya, juga ada honor yang lumayan untuk bertahan hidup di Malang, agar bisa merasakan kopi racikan V60 atau French Press.

Lalu saya bekerja di Majalah dan koran lokal, banyak menulis berita feature, juga wawancara.

Sampai saat ini, dari menulis saya belajar mengembangkan media sendiri berbasis online. Itulah kenapa energi saya habis untuk menulis di media sendiri, sejak resign pada 2015 silam.

Semua fase menulis saya lakoni, hanya saja untuk cerpen dan novel memang belum sampai mendalam, malah bisa dikata belum tuntas.

Rasanya, menulis cerpen dan novel itu perlu energi lebih, mikirnya dobel, pelibatan perasaan terutama.

Sekarang, ketika ingin membaca novel saya berpikir ulang, bisakah saya khatamkan? Apalagi di era yang terlalu banyak godaan ; WAG, Instagram, YouTube, game, dsb.

Juga mulai mengalami pergeseran pola pikir, bahwa menulis esai lebih seru. Singkat, padat, lugas, serta cukup mewakili apa yang tengah dirasa dan dipikirkan, menyajikannya pun relatif cepat. Semacam ada kepuasaan tersendiri.

Padahal saat ini ada tiga naskah novel dalam folder laptop, namun setelah saya baca ulang, ragu untuk kembali memunculkan.

-00-

Pikiran kita memang berkembang. Pemilihan tema untuk sebuah karya juga beragam. Pada fase sekarang ini, membaca puisi romantis rasanya sudah hambar. Apalagi cerpen dan novel pure percintaan, yang terkesan melodramatik.

Entah karena apa, saya semakin menjauh dari cerpen dan novel. Mungkin karena realitas sosial lebih dramatik dan alurnya tak tertebak. 

Menulis esai politik bisa berjilid-jilid, sebab satu kasus saja tak kunjung selesai dan terlalu banyak bunga-bunga. Misalnya, kalau masih ingat, ketika papa menabrak tiang listrik, juga tersangka kasus suap yang kabur dan tak kunjung ketemu.

Teranyar, banyak orang dan kelompoknya mendeklarasikan kerajaan. Namanya aneh-aneh, pidatonya powerfull. Fiksi sudah menjadi bagian dari realitas, ya?

Blitar, 1 Februari 2020
Ahmad Fahrizal Aziz
www.muara-baca.or.id

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak