Bagian 2, catatan Kolokium Nasional Cendekiawan Muda Muhammadiyah, 6-7 Maret 2020 di Malang
Sabtu, 7 Maret 2020
Cak Nanto sebenarnya banyak bicara, meski sering diam di depan media. Terkesan kurang kritis dan kurang "genit", terutama pada pemerintahan saat ini. Berulang kali disindir Dr. Makmun Murod Al Barbasy (MMA) yang pagi itu menjadi panelis untuk tema politik.
"Sekarang ini, kuasa rezim begitu dominan, namun gerakan mahasiswa malah lemah," Kritik Dr. MMA.
Ya, Dr. MMA memang seorang kritikus yang "nyelekit". Bahkan pemilihan diksi dalam tulisan-tulisannya kerap membuat orang bereaksi.
"Lalu apa yang bisa kita harapkan dari DPR saat ini, ketika parpol pun dikuasahi oleh para oligarki?," Lanjutnya.
Jika ditulis, ada banyak statemen dari Dr. MMA yang menarik untuk dikutip, misalnya soal partai ternak. Duh, beliau memang sangat berani dan kritis, kontras dengan Cak Nanto yang lebih sering diam.
Terus-terusan disindir, ternyata Cak Nanto punya smash balik yang telak.
"Buat apa kritis kalau kalah?" Ucapnya.
Peserta kolokium pun tertawa.
"Kritis belum tentu baik, diam juga tak selalu salah," Lanjutnya.
Cak Nanto memang memilih diam, dan memilih untuk tidak secara langsung berada di seberang rezim, dalam rangka berstrategi.
Kontras dengan ketua umum sebelumnya, yang sangat populer karena menempatkan diri di seberang rezim, bahkan terlibat dalam gerakan politik yang kontra rezim.
Maka, sosoknya muncul menjadi idola baru kaum muda. Meski belakangan mulai dipertanyakan konsistensinya, sebab toh pada akhirnya bergabung dengan rezim juga.
Cak Nanto sepertinya tidak memainkan figur dalam kepemimpinannya. Ia memilih silent, dibanding jadi selebritas sosial media. Atau memang, kurang bisa bermain peran?
Namun ia mengaku sedang berjuang untuk membuka jalan dakwah Muhammadiyah, sebab jika hal ini tidak diperjuangkan, maka dakwah Muhammadiyah bisa terhambat.
Apakah mendekat pada pemerintah termasuk strategi perjuangannya?
Kita semua penasaran, sekalipun penjelasan Cak Nanto tidak kongkrit. Mungkin tidak semua perlu ia jelaskan, meski ia sudah berulang kali jadi korban hoax dan bullying.
Menjadi seorang ketua itu memang berat, apalagi yang harus tetap merawat jaringan sampai ke akar rumput.
Sampai akhir tulisan ini, saya juga belum paham betul apa yang sebenarnya menjadi visi besar Cak Nanto.
Barangkali itu juga bagian dari strategi, agar tak banyak orang paham dan dengan mudah membacanya. Dia organisatoris kawakan, sejak masih di IMM. []
Sengkaling Hall
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
KolokiumCMM