Kamis, 9 April 2020
bit.ly/catatanFahrizal
Beliau seorang dokter, namun kami lebih banyak berbincang soal agama dan sosiologi, juga kadang-kadang dunia pergerakan dan dunia intelektual.
Saking luas wawasan beliau, sampai tak terasa jika perbincangan itu dalam rangka evaluasi, deep interview atas suatu program yang saya jalankan bersama KLP2A (Komunitas Laki-laki Peduli Perempuan dan Anak).
Beliau adalah dr. Roy Tjiong, senior consultan REMDEC. Sudah sangat senior, tidak saja dari segi usia, namun juga dari wawasan yang dimiliki.
Dalam waktu kurang lebih 2 jam, di Hotel Patria Garden (24/02) banyak hal kami perbincangkan. Juga banyak hal saya tanyakan.
Lalu bagaimanakah hasil deep interview tersebut? Entahlah. Saya belum bisa menengok catatan beliau.
Bersama KLP2A, kami memang sedang menjalankan suatu program menolak kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perkawinan anak (KTPAP-PA). Agenda perdana dilaksanakan 1 Desember 2019, dan bulan Februari kami harus dievaluasi. Terlalu cepat.
Dari jarak kami mendapatkan pelatihan dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta ke evaluasi ini memang hampir setahun, namun program aktif kami hanya sekitar 3 bulan terakhir ini.
Ternyata ada dua kelompok lain yang dibentuk, kelompok anak dan remaja serta kelompok ibu-ibu, yang sudah berjalan 3 tahun. Maklum kan jika dievaluasi? Kelompok kami yang belum genap setahun pun ikut dievaluasi.
Namun tak masalah, justru ini menjadi kesempatan terutama untuk memperdalam kajian terkait KTPAP-PA tersebut. Bagi saya ini gerakan yang penting dan substansial di masyarakat.
Suatu yang ingin juga saya perdalam, bukan hanya soal perkawinan anak, namun di balik itu juga terkait pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kekerasan baik fisik, psikologis, hingga seksual, juga visi besarnya adalah menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik.
Bagaimana perhatian khusus harus diberikan pada perempuan, sebelum dan setelah menjadi Ibu, dan laki-laki harus berperan aktif dalam hal ini.
Evaluator kami, dr. Roy Tjiong memberikan banyak pandangan, terkait model gerakan, kondisi masyarakat, hingga analisis sosial bagaimana membaca dan memetakan masyarakat.
Sungguh ini ilmu yang sangat bermanfaat, sangat sosiologis.
Meskipun jujur saja, sempat mengira jika program yang saya jalankan ini hanya dalam rangka "menghabiskan anggaran". Ada anggaran, gunakan, habis selesai.
Ternyata tidak. Perlu ada evaluasi yang rigid, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasinya harus disusun sedemikian rupa.
Setelah bertemu dr. Roy, saya baru sadar jika ini harus dijalankan dengan serius. Selama ini mungkin tidak begitu, sebab keterbatasan data. Meskipun YKP Jakarta sudah banyak membantu, terutama menjembatani agenda bersama Dinas terkait di Kabupaten Blitar.
***
Selebihnya, kami berbincang soal pergerakan, feminisme, hingga kegiatan kemanusiaan. Apakah saya yang mengikuti apa yang Pak Tjiong ucapkan, atau sebaliknya. Intinya, serasa berbincang dengan orang yang sudah lama mengenal kita.
"Kalau ada dana terus kalian hanya jadi panitia kegiatan, itu namanya babu," Sindir Pak Tjiong.
Ya, ada benarnya. Kami hanya jadi panitia. Alangkah lebih baiknya jika ini dijadikan momentum meningkatkan kualitas diri, lewat beragam kesempatan yang ada.
Program penting ini hanya tinggal setahun lagi. Namun kami sudah membuat Blitarsetara.com
Banyak yang mengkritik ini akan jadi gerakan ilusif dan utopis. Ya, kalau kasus KTPAP-PA di Blitar sudah tidak ada, gerakan ini tidak perlu dibuat.
Ketika ada pertentangan, di situlah nampak urgensinya.
Terlepas dari perdebatan soal kesetaraan gender, feminisme, LGBT, dan sebagainya.
Saya lebih tertarik pada sisi pentingnya "menghargai ruang", terutama pada perempuan, ibu, dan anak.
Penghargaan bahwa setiap orang berhak tumbuh dan berkembang, terlepas bagaimana latar belakang dan masa lalunya.
Intinya belajar menghargai sesama manusia, atau ngewongne uwong (memanusiakan manusia). []
Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz