Eyang Sapardi dan Mendung di Bulan Juli



Oleh Fahrizal A.

Secarik undangan pernikahan disodorkan seorang teman, dibelakangnya tertulis puisi Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin.

Puisi itu sederhana, namun tajam menukik pada jantung rasa setiap orang yang membacanya. Namun ada yang ganjil, kenapa puisi itu ada pada undangan pernikahan?

Sebab kata "tak sempat" muncul dua kali. Pada paragraf pertama, ada kata "abu", dan paragraf kedua ada kata "tiada".

Membaca puisi ini, sekilas romantis, namun lamat-lamat terasa nyeri kepedihan. Sesuatu yang tak pernah terucap, tak sampat bertatap, atau yang tak terbalas.

Cinta sederhana yang tak benar-benar sederhana. Semoga pasangan pengantin itu baik-baik saja.

Gerimis di Bulan Juni

Tiap kali turun hujan atau sekadar gerimis di bulan Juni, ingatan tentang sajak Sapardi Djoko Damono kembali menyeruak.

Juni adalah mangsa ketiga ; kemarau, dingin, dan jalanan kering. Namun hujan tak lagi mengenal bulan, iklim tak lagi menentu, sebagaimana perasaan manusia kini, tiada yang tahu batas luka dan bahagia.

Pada tahun ini, Juni masih beberapa kali diguyur hujan. Perubahan iklim menandai kondisi zaman, pergolakan angin, dan sepertinya Hujan Bulan Juni adalah ramalan yang kini terjadi.

Memenangkan hati Pingkan

Pingkan harus pergi ke Jepang selama 2 tahun. Kekasihnya, Sarwono, merasa sedih. Tak berhenti ia menuliskan puisi. Di negeri rantau, Sarwono tak hadir, namun puisinya selalu membersamai.

Sampai beberapa lelaki yang mendekatinya mundur dengan sendirinya. Sarwono terlalu kuat di hati Pingkan, masuk dalam beragam topik pembicaraan.

Ketika itu ia sadar, yang selalu ada tak benar-benar ada. Sarwono memenangkan hati Pingkan, bahkan ketika mereka terpisah jarak sekian ribu kilometer.

Pingkan dan Sarwono adalah tokoh dalam film Hujan Bulan Juni, yang diperankan Adipati Dolken dan Velove Vexia.

Mendung di Bulan Juli

Kabar berpulangnya Eyang Sapardi tersiar begitu masif. Linimasa facebook dan grup-grup Whatsapp dipenuhi ungkapan bela sungkawa.

Tepat hari Ahad, mendung bergelayut di langit kota patria. Sosok kurus renta telah tiada, meninggalkan ratusan puisi, sajak, novel, dan beberapa karya terjemahan.

Banyak yang berduka. Kehilangan atas sosok yang selama ini, entah diri dan puisinya, menjadi bagian dari hidup kita.

Sebagaimana penyair, Eyang Sapardi sepertinya sudah menantikan saat kepergiannya. Sebuah puisi berjudul "Pada Suatu Hari Nanti" terasa begitu mengena. Kata-kata itu seperti hidup menggantikan dirinya yang telah berpulang.

Para pembaca dan pengagum, tak surut mendoakan. Betapa dalam kecintaan mereka, meski selama ini lebih sering menjumpai puisi ketimbang sosok penulisnya.

Selamat jalan, Eyang Sapardi.

Blitar, 20 Juli 2020

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak