Sabtu malam, 27 November 2021, saya memutuskan mampir ke sebuah kedai kopi. Jam menunjukkan pukul 20.45, masih "terlalu sore" untuk pulang.
Di dalam tas, ada buku berjudul Compassion 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih karya Karen Armstrong, penulis terkenal asal Inggris, yang belum saya baca.
Buku itu terbit tahun 2010 silam, dan diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada 2012. Buku lama, namun saya baru mendapatkannya di sebuah bazar buku murah.
Karen Armstrong adalah nama terkenal, ia disebut sebagai altruis dan intelektual yang menyuarakan tentang kasih sayang antar pemeluk agama. Buku terkenalnya berjudul Sejarah Tuhan, A History of God.
Nama Karen sudah saya dengar sejak semester 3, seorang senior di organisasi memiliki bukunya. Namun saat itu otak saya "belum mampu" untuk mencerna karya-karya Karen.
Dalam buku Comppasion ini, Karen membagikan fakta dan pandangannya tentang agama, termasuk mengulik sekilas ajaran-ajaran tentang Compassion (belas kasih) yang dimiliki agama-agama tersebut sebagai titik temu.
Membaca buku Karen, jiwa serasa disirami air kesejukan. Lewat sejumlah fakta dan sepercik pandangan, kita diyakinkan bahwa hidup harus saling mengasihi, saling berdamai.
Bagi saya itu sebuah terapi, self healing, bahwa sebuah tulisan bisa memperbaiki cara kita berpikir yang selama ini mungkin keliru. Cara berpikir yang keliru itu menciptakan suatu penderitaan dan perasaan tidak aman.
Self healing
Membaca buku jadi kebiasaan saya sejak Aliyah, sejak mulai merasakan nyamannya di ruang perpustakaan, sejak mata saya terserang miopia atau rabuh jauh yang memaksa mengenakan kacamata.
Aktivitas fisik, seperti bermain bulu tangkis, pun ikut terhenti. Ya, sebenarnya saya itu atlet bulu tangkis amatiran. Hanya saja, sejak terserang miopia, kemampuan kinestetik banyak menurun.
Saya memakai kacamata bukan karena membaca buku, sebagaimana yang diperkirakan orang. Namun mungkin karena terlalu sering berada di depan komputer.
Justru sejak mengenakan kacamata lah saya mulai memiliki aktivitas membaca buku.
Membaca seperti mengobati batin saya. Memang sulit dijelaskan, misal ketika mood sedang jatuh, membaca buku atau novel membuat optimisme kembali bangkit.
Dalam buku itu ada narasi, kisah hidup dan kompleksitasnya, dan itu membuat apa yang saya alami belumlah seberapa. Sesekali ada dorongan spirit untuk bangkit dan optimis.
Anda tahu, bacaan-bacaan saya saat aliyah adalah novel-novel Kang Abik, yang taglinenya adalah novel pembangun jiwa.
Saat itu juga sedang booming tetralogi Laskar Pelangi, yang kita semua tahu apa isinya, tentang motivasi hidup.
Belum lagi ketika saya membaca buku-buku Erbe Sentanu, Ustad Abu Sangkan hingga Ippho Santosa.
Memasuki fase perkuliahan, bacaan saya beralih ke teori-teori kritis atau perubahan sosial. Novel yang saya baca pun juga beragam, seperti Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, lalu beranjak ke novel series Supernova karya Dee Lestari.
Membaca membuat otak kita aktif: mencerna, menelaah, mempertanyakan hingga mengimajinasikan. Membaca serupa permainan dengan alam pikiran kita sendiri, lewat diksi-diksi yang dibuat penulisnya.
Membaca buku seperti berdialog, kadang kita sepakat, kadang juga kita membantahnya. Dialog itu terjadi dalam ruang pikiran kita sendiri.
Jika ada istilah sehat berawal dari pikiran, membaca mungkin salah satu terapinya. Tentu tidak sekadar sehat secara fisik, namun juga sehat secara mental.
Sekarang aktivitas membaca begitu terwadahi, lewat gawai dan sosial media, ada bacaan bermutu yang bisa diakses.
Itu sebuah kenikmatan tersendiri, kegembiraan yang sederhana, kan?
Blitar, 27 November 2021
Ahmad Fahrizal Aziz