Belajar Menulis Tidak (Untuk) Jadi Penulis



DALAM perbincangannya dengan Anggi Septianto di Alinea TV 8 tahun silam, Helvy Tiana Rossa menceritakan bahwa cita-citanya menjadi seorang guru.

Namun ada lanjutannya, guru yang penulis, dan tercapai.

Menurutnya, profesi apapun bisa digandengkan dengan menulis, itu berarti penulis bukan suatu yang eksklusif, bukan juga merujuk pada profesi khusus sebab nyatanya di kolom KTP tidak ada profesi penulis.

Helvy Tiana Rosa adalah penulis produktif, lebih dari 60 naskah diterbitkan, pintu masuknya ke cerita-cerita remaja, dan profesinya sebagai dosen.

Ia juga pendiri Forum Lingkar Pena, sebuah komunitas waralaba yang menyebar ke seantero negeri, maka tak berlebihan jika ia masuk dalam 500 perempuan berpengaruh di dunia versi Royal Islamic Strategic Studies Center, Yordania.

###

Sepertinya itu menarik, belajar menulis, menguasahi teknik menulis, tidak untuk menjadi penulis. Punya karya tulis, namun bukan seorang penulis.

Kadang-kadang saya merenungi, apa dan siapa sebenarnya seorang penulis?

Apakah ia sosok yang meluapkan imajinasi liarnya untuk dibaca orang lain, atau sekadar pecandu kata-kata yang mendapatkan tepuk tangan atas coretan yang telah ia hasilkan?

Pernah pada satu kondisi saya merasa apa menariknya jadi penulis, jika lebih banyak berkutat pada buku dan pena (sekarang laptop dan ponsel).

Apa hebatnya orang yang berjarak pada kerja lapangan, dan duduk di awang-awang sambil memikirkan cerita apa yang akan dibuat?

Namun pertemuan dengan banyak orang merubah pandangan itu, setidaknya dari para wartawan yang memburu narasumber, atau peneliti yang rela menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk "memotret" realitas yang hendak ia tulis.

Penulis ternyata bukan hanya duduk di depan laptop, namun juga penjelajah, pencatat ulung, pendengar, sekaligus dokumentator peristiwa.

Suatu kerja yang melelahkan, menantang mental dan pikiran, sedikit bangga karena ia menjadi jembatan pengetahuan bagi banyak orang.

Profesi yang penulis

Menarik juga jika semua orang bisa menulis, setidaknya menuliskan cerita dirinya sebagai profesi A, B, C, D, dan seterusnya.

Seorang karyawan pabrik mie instan akan menuliskan tentang pekerjaannya dengan penuh penghayatan sebab ia menuliskan apa yang ia alami sehari-hari.

Seorang penjaga hutan bisa menarasikan kegiatannya sehari-hari agar orang di luar hutan bisa paham apa yang sebenarnya ada di sana.

Bisa juga, seorang tenaga medis yang hanya tidur 2-3 jam sehari selama berbulan-bulan ketika wabah virus merebak 2 tahun belakangan ini.

Bagaimana ia bertahan dalam seragam APD yang sekilas mirip mantel pemanas suhu tubuh.

Pasti ada banyak hal yang akan muncul sebagai karya tulis, akan banyak cerita yang bervariasi dan ditulis langsung oleh pelakunya.

Penulis yang terlatih

Namun nyatanya, menulis tidak segampang itu. Seseorang bisa duduk ratusan detik di depan microsoft word tanpa satu huruf pun berhasil ia ketikkan.

Menulis perlu ketekunan dan kebiasaan. Helvy Tiana Rosa adalah guru yang penulis, namun punya ketekunan di atas rata-rata.

Selain Helvy ada juga guru yang bisa menulis namun kemampuan menulisnya perlahan tumpul karena sudah jarang diasah.

Menulis memang perlu dilatih, sekalipun tidak sebagai penulis. Minimal 500 kata setiap tiga hari sekali.

Namun prakteknya tak mudah, para tokoh yang ingin menuliskan biografinya lebih memilih mengundang penulis ke rumahnya, bercerita kisah hidupnya dan membayar sejumlah nominal agar menjadi sebuah buku.

Ia mencari penulis yang bisa menarasikan kisah hidupnya dengan bahasa yang indah, yang--tentu saja--tak bisa ia upayakan sendiri.

Lalu bagaimana dengan orang-orang biasa? Padahal hidup mereka juga penting dibaca. Semua orang punya kisah hidup yang layak ditulis dan layak dibaca. []

Blitar, 7 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak