Surga dalam Sepiring Gulai Sapi

Gule Daul, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.


Usianya menjelang enam dasawarsa, dan atas rekomendasi dokter, ia harus menjauhi gulai sapi kesukaannya.

Gulai sapi adalah makanan favorit, juga sate kambing. Kadang-kadang ia mengobati rasa kangennya dengan membeli sate tahu, atau membeli sate kambing sekadar mengambil bumbu kacangnya.

Makanan berdaging menjadi pantangan besar, ia harus "puasa" cukup lama untuk ini, dan entah apakah kedepan masih boleh mencicipinya.

Pak Darin, sebut saja begitu, melalui masa muda yang penuh keprihatinan.

Bekerja cukup keras agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ia bekerja ngintil pada seorang politisi dan karena itulah mengenal beragam jenis jasa dan usaha, sekalipun tak terjun ke dunia politik praktis.

Sate ayam, apalagi kambing, adalah makanan super mewah baginya, dan kadang hanya ia rasakan ketika ada undangan selamatan atau hari raya Kurban.

Namun ia gandrung dengan gulai sapi, kombinasi daging, babat, iso dan otak sapi ketika makan siang di Rumah Makan Padang. Itupun atas ajakan sang majikan.

Kemudian ia mendeklarasikan jika gulai sapi adalah makanan favoritnya.

Kehidupannya berangsur membaik, setiap kelebihan rupiah ia tabung untuk dibelikan tanah hingga ia bisa membangun rumah sendiri.

Beberapa unit usahanya pun berjalan mulus karena kerap dapat proyek dari negara.

Sekadar membeli gulai sapi 3 kali sehari bukan hal yang sulit baginya. Makan gulai sapi adalah salah satu segmen hidup yang ia nikmati penuh penghayatan.

Namun memasuki usia 50, tubuhnya mulai bermasalah, cek medis memberikan hasil yang kurang baik.

Beberapa jenis makanan mulai masuk list untuk dijauhi, sejak 5 tahun terakhir ini mulutnya hanya merasakan kehambaran.

Ia bisa membeli apa yang ia mau, namun kondisi tubuhnya tak menghendaki.

Usia muda adalah kekayaan

Pak Darin mengingat saat ia muda, dompetnya sering kosong, namun fisiknya masih kuat.

Ia bisa bekerja hingga siang hari tanpa sarapan, atau begelut dalam terik matahari selama berjam jam.

Masa muda adalah kekayaan, tak peduli soal gula darah, kondisi jantung dan segala ketakutan degeratif.

Sesekali punya uang ia datang ke Rumah Makan Padang dan menikmati gulai sapi. Suatu moment yang sangat ia hayati, sebab belum tentu sebulan sekali.

Organ tubuhnya masih bugar, tidur beralas tikar pun terasa nikmat, sarapan nasi berlauk kerupuk dan sambal pun begitu syahdu.

Jangan khawatir soal uang, anak muda itu kaya raya meski saldo rekeningnya kerap menipis.

Sekarang ia punya cukup uang, namun terbatasi oleh kondisi.

Organ tubuhnya tak lagi beroperasi maksimal menerima makanan yang masuk.

Hidupnya terkontrol sangat rapi, dihitung sedemikian rupa asupan yang masuk, lebih rigid dari pelajaran matematika yang pernah ia pelajari.

Ia pernah bertanya pada dokter, apakah bisa sembuh? Dokter tersenyum dan menjawab, terus berusaha dan berdoa ya pak.

Kecanggihan teknologi membuatnya mencari sendiri di google, ia menyimpulkan bahwa upayanya menghindari beragam makanan itu sebatas agar hidupnya lebih lama.

Lalu, secara filosofis, ia mempertanyakan: memang untuk apa harus hidup lebih lama? Jika tak bisa menikmati hidup?

Pak Darin tentu mengerti jika hidup bukan soal makan. Ada keluarga yang ingin tetap menyapanya, begitupun sebaliknya.

Ia masih ingin menciptakan dialog-dialog panjang dengan orang terdekat, dengan istri, anak, cucu, teman, dan kerabat.

Dia juga ingin sedikit berbuat sesuatu dalam hidupnya. Ia tak bisa lagi menikmati makanan seperti dulu, namun ia berusaha menciptakan kenikmatan lainnya. []

Ahad, 10 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

*Pak Darin bukanlah nama asli, demi menyamarkan dari cerita aslinya.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak