Kami dipertemukan suatu sore dalam forum Darul Arqom Dasar (DAD) di ruang kelas SD Muhammadiyah 8 Sigura-gura, Kota Malang.
Dia bertubuh besar, berkacamata tebal dan berpakaian rapi. Profilingnya seperti dosen, padahal di ruangan itu ia paling muda dari semua peserta.
Namanya Rasikh Adila, kami satu mabna (gedung asrama), hanya beda lantai. Dia di lantai 1 dan saya lantai 2.
Sebelum berkenalan dalam forum sore itu, saya sudah tahu sosoknya karena memicu perhatian. Cukup mudah mengingat figurnya di antara mahasantri yang lain.
Ia seorang yang jenius, bahasa arabnya bagus, maklum karena ia alumnus Pondok Tebuireng, Jombang. Pondok yang didirikan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari.
Ia berwibawa, gaya bicaranya tenang dan tertata, kadang-kadang berdalil, baik ayat Al Quran maupun hadits. Hafalannya banyak.
Ia bahkan sudah mengisi ceramah ba'da Magrib di Masjid At Tarbiyah (masjid kampus), mewakili mahasantri.
Kejeniusannya dipuji oleh para pengasuh pondok, di antaranya Ust. Jaiz Kumkelo yang sering menyebutnya kader unggul.
Sebelum mengenalnya, kesan nyungkani itu begitu kuat. Bahkan tak jarang yang memanggilnya Ustad.
###
Di semester pertama, Rasikh mendapat IP 4.00, itu nilai sempurna, seluruh nilai mata kuliahnya dapat A, termasuk kuliah bahasa arab yang wajib kami jalani setiap sore selama dua semester.
Kami beda fakultas, namun saya membisikinya agar membuat kelompok belajar yang dikelola IMM, lahirlah Komsata (Komunitas Syariah-Tarbiyah).
Ia tampil membawakan materi tips trik meraih IP 4.00, pesertanya pun membludak, lebih dari 50 yang ikut pertemuan di selasar gedung perkuliahan B.
Ya, kami dipertemukan dalam perkaderan IMM, kami satu angkatan di IMM, dan berada pada bidang yang sama.
Rasikh sangat religius, ia selalu mengajak shalat tepat waktu, ia juga sering tidak sependapat dengan senior tentang kebijakan internal yang terkait dengan politik di kampus.
Banyak yang menyebutnya lugu dan lurus, dan karena itulah kami juga kerap berbeda pandangan dalam banyak hal.
Namun partner seangkatan, satu komisariat saya yang paling dekat adalah Rasikh, teman diskusi, teman curhat soal organisasi dan lain sebagainya.
Termasuk ketika saya hendak mundur dari organisasi, namun ia yang mencegah. Rasanya malu jika mengingat waktu itu, betapa seringnya emosi menguasahi setiap keputusan dan--beruntungnya--saya mengenal Rasikh.
###
Lalu ia terpilih menjadi ketua organisasi, ketua IMM komisariat Pelopor.
Ayahnya, Bapak Rif'an Masykur terpilih menjadi ketua PDM Kota Malang di periode yang hampir bersamaan.
Rasikh adalah anak seorang tokoh Muhammadiyah meski lama mondok di Pesantrennya pendiri NU.
Kemana-mana kami sering bersama, tentu untuk urusan organisasi. Menaiki motor Mega Pro-nya. Mulai dari mengirim surat, proposal, menghadiri suatu undangan dlsb.
Mengkonsep program bersama, membentuk lingkar diskusi Al Maun di Masjid Ulul Albab setiap hari Rabu dengan narasumber dari kader baru, begiliran, sementara senior komisariat bertindak sebagai pembanding atau panelis.
Cerita menarik lainnya ketika komisariat mengadakan DAD dan harus ngirit anggaran, Rasikh dengan koneksinya di PDM mencari bantuan kendaraan.
Ternyata dapatnya ambulans, bukan ambulans PDM atau RSI, namun ambulans PAN. Ia bolak balik menjadi sopir mengangkut peserta DAD dari kampus menuju Panti Asuhan Muhammadiyah dekat MOG, tempat DAD berlangsung.
Seingat saya, Rasikh bukan anak tongkrongan. Ia, karena rumahnya di daerah Sawojajar Malang, harus membagi waktu antara kuliah, organisasi dan kesibukan di rumah.
Di usia yang belia, dia masuk menjadi anggota Majelis Tarjih dan Tadjid PDM Kota Malang. Kesibukannya sangat padat.
Ingatan nongkrong yang paling sering dengan Rasikh adalah di warung nasi goreng dekat jalan masuk Sumbersari Gg. 1, tak jauh dari kontrakan komisariat.
Menurutnya, nasi goreng di tempat itu unik, cabainya utuh, makan nasi goreng sambil mengunyah cabai punya sensasinya tersendiri.
###
Rasikh tidak sepakat jika IMM non PTM membentuk cabang sendiri, tanpa melibatkan ketua cabang yang terpilih.
Ya, kala itu memang ramai isu pemekaran PC IMM Malang yang sudah memiliki 21 komisariat.
Ada pertemuan IMM UIN, UB, UM dan Budi Utomo untuk membuat perumusan, saya menjadi sekretaris dan Alif Furqon dari IMM UB menjadi ketua tim.
Namun Rasikh mengingatkan jika tanpa melibatkan ketua PC IMM Malang terpilih maka akan dianggap aneh oleh PDM.
Ternyata pendapat Rasikh ada benarnya, tim perumus yang sebagian juga masuk ke dalam struktur cabang, termasuk saya, disamakan dengan kasus sebelumnya yang ingin mendirikan cabang sendiri karena kalah dalam arena musycab.
Mirip parpol ketika calon A gagal menang dan kemudian mendirikan kubu sendiri lalu mengklaim paling legitimate.
Peristiwa itu sungguh menguras energi dan pikiran, Rasikh menolak terlibat begitu dalam, meskipun efek berikutnya menciptakan suara solid di IMM non UMM yang berhasil menjadikan Yusuf Hamdani dari komisariat Reformer UIN menjadi ketua umum.
Mungkin itu, untuk kali pertama postur struktur Pimpinan Cabang cukup ramai diisi oleh kader IMM non UMM.
###
Tiba-tiba dia mengirimkan chat pribadi dan menanyakan kabar, lama sekali tak jumpa.
Dia bekerja sesuai kuliahnya, dan juga telah dilantik menjadi hakim. Hidupnya begitu progress dan mulus, berbeda dengan saya yang fluktuatif naik turun.
Ia sempat bertanya terkait pengelolaan perpustakaan, ternyata ia mengabdi jauh di ranah minang sana.
Setelah itu kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing, meskipun saya masih sering bolak balik Blitar Malang karena suatu urusan.
Rasikh berpulang di usia yang masih belia, baru saja ia merayakan milad ke-30, juga baru menikah.
Ia seorang yang berwawasan luas dan punya integritas tinggi bahkan sejak masih mahasiswa semester awal.
Ia teman ideologis, lawan debat yang seru dan partner berorganisasi yang penuh dedikasi. Ia juga sosok kocak yang kerap melempar joke.
Ketika malam itu muncul kabar dia telah berpulang, ingatan tentang Rasikh terus bermunculan dalam benak saya.
Seperti tak menyangka saja dia pulang secepat ini. Rasikh adalah orang baik, lurus, tak neko-neko dan humoris.
Selamat jalan, Immawan Rasikh Adila.
Sabtu, 9 Juli 2022
Ahmad Fahrizal Aziz
Tags:
obituari