Kenapa Kita (Harus) Pulang Ke Rumah?


BUS memasuki Tol Karanganyar dan saya merenung: untuk apa kembali ke Blitar? Ada apa di sana?

Teringat suara di ujung telepon, seorang teman mengajak "berkarir" di Ibukota, atau terngiang angan-angan lama yang ingin menetap di Sleman.

Di sepanjang Jalan Tol yang lengang, di antara lelap dan sadar, lamunan itu muncul bertubi-tubi.

***

Akhirnya tiba di "ruang privat" berukuran 2x3 meter, ruangan kecil yang menyatu dengan tubuh dan pikiran.

Di bangunan tak berpagar, di samping sungai kecil ini, banyak hal telah terjadi, saya menyebutnya rumah.

Namun jika rumah diartikan sebatas ruang-ruang bertembok, maka tempat lain juga bisa menawarkan itu.

Di Magelang kita bisa menyewa sepetak kamar, pun di daerah lain, sekadar harian dengan harga terjangkau.

Sebatas merebahkan tubuh yang lelah, menyelipkannya dari dingin udara malam. Namun apa yang membedakannya dengan kamar di rumah?

Rumah mungkin tak lagi sebatas tempat, rumah adalah ruang yang lebih luas dari sekadar bangunan. Rumah adalah tempat kita tinggal dan menetap.

***
Selepas sarapan saya memacu kendaraan menuju sebuah hotel, ada undangan sosialisasi dari salah satu lembaga negara.

Pada kesempatan yang lain, bersama sekelompok orang, kami menyusun jadwal ngopi, rapat atau pertemuan informal.

Komunitas atau organisasi menerima kehadiran kita dan memberikan ruang untuk itu, mungkin inilah "rumah" dalam arti yang berbeda.

***

"Kenapa harus kembali ke Blitar?" tanyaku.

"Iya lah, besok sudah masuk kerja," jawabnya.

Oh iya. Banyak dari mereka terikat pada lembaga, sama ketika dulu saya harus kembali ke Malang pada awal pekan.

Di era digital, banyak keterikatan pada "ruang" mulai teratasi. Pagi ini saya bisa memesan travel ke Semarang dan urusan pekerjaan tetap teratasi di dalam besi berjalan itu.

Manusia freelance tak perlu absen sidik jari atau apel rutin untuk melangsungkan aktivitasnya, mereka hanya terikat pada keinginannya sendiri untuk hidup bebas.

Mungkin karena itu, sekadar "pulang" saja jadi perenungan tersendiri. Kenapa cepat-cepat pulang kalau bisa mampir sana-sini?

***

Sehari sebelum memesan tiket ke Surakarta, ada informasi jika agenda bersama Bupati diundur, bertepatan dengan agenda yang seharusnya ada di sana.

Saya menghubungi teman dan meminta agar panitia mencoret nama saya, sebab kemungkinan batal hadir.

"Sibuk apa?" tanyanya heran.

Di "rumah" ada hajatan, dan pada suasana itu saya menemukan arti "rumah" secara tak langsung.

Pada bulan Ramadan lalu, seseorang juga menyarankan agar saya kembali ke Malang, memulai aktivitas di suatu lembaga yang bergerak di bidang literasi.

Menurutnya, kalau di Malang bisa lebih terwadahi. Namun apa benar demikian?

Banyak hal telah saya lakukan di Blitar, banyak orang saya temui, dan karena itu undangan dan tawaran kerjasama pun terjadi.

Nama saya mulai masuk dalam katalog kecil sebagai aktivis literasi di sini, yang sejak 2016 silam telah menjadi bidang yang serius saya tekuni.

Semua itu perlu disyukuri meski kadang masih ada letupan-letupan keinginan untuk hijrah ke tempat lain atau kembali ke "rumah singgah".

Blitar adalah rumah, tempat lahir dan besar, meski tumbuh di kota sebelah. Ada nilai kepuasan tersendiri bisa terus berada di sini, dan menekuni bidang ini. []

Ahad, 11 Desember 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak