Kopi, Rokok dan Produktivitas


APAKAH rapatnya bisa di luar ruangan? Seorang teman menawarkan hal ini, dengan alasan yang tak pernah terduga sebelumnya.

Kami "meminta" bantuannya membuat ilustrasi untuk beberapa rubrik majalah, kami mengundangnya datang ke ruang rapat, sebuah area tertutup dan ber-AC.

Kenapa? Tanya saya.

Biar bisa rokok' an, jawabnya.

Itu suatu alasan tak terduga, dan bagi seorang pekerja seni sepertinya, menjadi perkara pelik dan penting, tanpa rokok yang rutin ia hisap disela perbincangan, ia hanya "patung" tanpa ide-ide cemerlang.

***

Jelang pukul 2 siang, tubuh masih basah oleh keringat, berangsur mengering karena sepoi angin Kota Malang. Secangkir Tubruk pekat tersaji tak begitu lama, bersama beberapa potong Ropang Garlic.

Belum satu pun tulisan saya rampungkan, hisapan kafein adalah pelecut utama sebelum kembali ke kantor pukul 4 sore, sejak itu kebiasaan ngopi jadi muncul.

Satu cangkir untuk dua artikel, dikirim dari laptop yang tersambung modem internet. Secangkir Tubruk menyumbang konsentrasi dan relaksasi tubuh yang seharian "terbanting-banting" di jalanan.

***

Jelang tengah malam, seusai urusan pekerjaan dan sisa perkuliahan yang harus dirampungkan, ajakan ngopi kembali datang.

Dengan energi yang tersisa saya memacu kendaraan menuju "kedai kopi aktivis" yang berjajar rapi di depan sebuah kampus swasta, semakin malam semakin ramai.

Dua puntung rokok landas di bibir dan tergeletak di aspak keramik, ditambah secangkir kopi sachet dan semangkuk mie instan tanpa telur. Tubuh serasa berenergi kembali dan show must go on.

Konon itu kebiasaan tak sehat, namun bagi mahasiswa semester tua yang disambi kerja dan berorganisasi, tak ada pilihan lain.

***

Bagaimana kamu bisa berhenti merokok? Tanya seorang teman dengan ekspresi takjub.

Saya tak ingat pasti, dan tak sempat menyusun rencana atau resolusi untuk itu, tiba-tiba saja berhenti dan terkadang saja merokok ketika menghadiri undangan kenduri dan tuan rumah menyajikan "Surya", bukan "Suket Teki".

Hari-hari ini, saya tak terlalu perlu lagi begadang larut malam, bergelut dengan tugas perkuliahan dan bangun pagi untuk suatu liputan.

Mungkin karena itu, tak perlu "doping" berlebih, kebiasaan membaca buku tentang kesehatan mental membuat saya berusaha mengontrol pikiran agar tak perlu dibantu beberapa batang rokok.

Meski, bagi saya, merokok itu tak terlalu keliru ketika ada tujuan yang jelas. Merokok by desain, ketika merokok bisa menunjang produktivitas, bukan sekadar menghabiskan isi dompet dan menciptakan polusi di sekitar.

Beberapa orang memang "harus merokok" untuk menstimulus ide-ide segarnya, dan ide-ide tersebut mungkin akan menghasilkan sesuatu yang penting, masterpiece bahkan.

Seseorang kadang harus merokok untuk menetralisir kekacauan pikirannya, maka tak heran ketika seorang perokok berat berhenti merokok, justru mengalami ketidakstabilan.

Namun rokok adalah industri besar, seperti halnya kopi. Keduanya tak gratis, bahkan menghabiskan cukup besar porsi anggaran harian, maka ngopi dan ngerokok lah by desain.

Blitar, 31 Desember 2022
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak