Kenangan Mbah Dul Mengurus Muhammadiyah



Sosok sepuh berkemeja putih dan berpeci hitam itu menerima kami dengan ramah. Suaranya lembut, pelan, dan tenang.

Sosok tersebut bernama Abdul Qadir, atau yang akrab disapa Mbah Dul, nama yang direkomendasikan oleh Mas Farikhul Mukib jika ingin bertanya tentang sejarah Muhammadiyah di Wates.

Mbah Dul pun teringat masa awal ia diminta menjadi ketua Muhammadiyah Wates, padahal ia menjagokan Pak Nashirudin, yang menurutnya lebih paham tentang gerakan organisasi.

Namun Pak Nashirudin yang kala itu berstatus sebagai PNS, tak cukup punya keleluasaan, apalagi di era orde baru.

Mbah Dul meminta putranya, Khoirul Bashori menjadi pengurus, dibantu Mugito sebagai sekretaris dan Moh. Roem sebagai bendahara.

Kegiatan yang rutin dilakukan pertama adalah pengajian internal.

"Yo pokok belajar ngaji, dadi Muhammadiyah yo kudu iso ngaji," kenangnya.

Di usianya yang sepuh, tak banyak lagi yang Mbah Dul ingat. Namun momentum menghadiri pengajian di kota Blitar (Perguruan Muhammadiyah Jalan Cokroaminoto) menjadi kenangan tersendiri.

"Mbiyen iku mas, nyewo motor, kersane ngalah karo Gusti jik diparingi penak, duwek jik duwe," tuturnya.

Ia mengajak pengurus dan jamaah dari Wates untuk menghadiri pengajian di Blitar, semua atas biaya sendiri.

Beberapa nama yang masih lekat di ingatan Mbah Dul adalah Mbah Sosro, Pak Muhdi dan Mbah Yasin Sulthon.

***

Mbah Dul berasal dari Kepanjen, Malang, lalu pindah ke Wates. Beliau dikenal sebagai pedagang Jamu, di dekat Pasar Wates, dan salah satu penggerak awal Muhammadiyah di Wates.

Sejak di Kepanjen, ia sudah menjadi simpatisan dan sering menghadiri pengajian Muhammadiyah, alasannya bersimpati dengan Muhammadiyah karena ingin menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.

"Jare kudu melu Nabine, lak ora melu engko salah," tegasnya.

Saat itu, Muhammadiyah memang sangat tegas mendeklarasikan diri sebagai pengikut langsung Nabi Muhammad SAW, di tengah tumbuh suburnya pengkultusan pada sosok-sosok tertentu yang dianggap alim.

Dakwah Muhammadiyah di era awal tersebut, terutama di Wates, terbilang cukup berat karena masih banyaknya tantangan kultural di masyarakat.

Aktivitas pengajian terus dilestarikan oleh Mbah Dul, di depan rumahnya, rutin digelar pengajian sebulan sekali yang diisi oleh putra ketiganya M. Abdul Hamdani atau Abu Hilal.

"Sekarang apa kabar saudara-saudaraku di Muhammadiyah?" tanya Mbah Dul di sela perbincangan kami.

"Alhamdulilah, sakniki sampun berdiri 19 PCM," jawab Pak Bukhari.

Di akhir perbincangan, saya meminta foto bersama, Pak Bukhari sebagai juru kamera.

"Foto, untuk kenang kenangan," respon beliau sambil tersenyum.

Itulah pertemuan pertama dan terakhir dengan beliau, sebab Rabu, 17 Mei 2023 lalu tersiar kabar beliau berpulang.

Semoga amal ibadah beliau, termasuk amal ketika menggerakkan Islam melalui Muhammadiyah diterima di sisiNya. Sebagai perintis dan pejuang awal ketika organisasi belum memiliki apa-apa. []

Ditulis oleh
Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

1 Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

  1. Dan aku menjadi muallaf muhammadiyah atas kajian anak beliau,kang hilal

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak