Penantian dan Kehilangan

Mendung suatu sore


Ari Puspitasari, salah satu tenaga medis itu dikabarkan meninggal bersama calon bayi di dalam kandungannya, yang masih berusia 4 bulan.

Kabar ini meletupkan kesedihan yang mendalam, apalagi ia meninggal dalam tugas kemanusiaan ; sebagai tenaga medis di masa pandemi yang mengharuskannya tetap bekerja, sekalipun sedang hamil.

Padahal, ia dan suami, keluarga besar dan segenap teman dekatnya, mungkin sedang dalam masa penantian melihat anak, cucu, atau keponakan itu lahir.

Kepergiannya sangat heroik, namun kehilangan tetaplah menyakitkan.


-00-


Sepasang suami istri meratapi kematian anak semata wayangnya, di usia remaja. Kini usia mereka masuk kepala lima.

Menurut cerita orang sekitar, kelahiran anak semata wayang itu cukup lama dinanti. Beberapa tahun setelah menikah, mereka baru dikaruniai anak.

Anak semata wayang itu begitu disayang, dimanja, difasilitasi segala kebutuhannya, sebab orang tuanya memadahi secara ekonomi, salah seorang peternak yang cukup sukses.

Lalu terjadilah tragedi, kecelakaan kecil. Kepalanya terbentur. Sekilas tak masalah, namun ada yang aneh. Kesehatan sering tak stabil, kepalanya juga sering sakit. Sering pingsan. Barulah diperiksakan ke rumah sakit.

Ternyata ada sesuatu terjadi di dalam tempurung kepalanya, sampai ia koma dan masuk ruang ICU, lalu dilakukan operasi, dan ... gagal. Nyawanya tak terselamatkan.

Duka itu sungguh mendalam. Bukan saja karena ia anak semata wayang, yang dirawat dengan segenap cinta, yang dipundaknya ada banyak harapan.

Namun butuh waktu cukup lama untuk menanti kelahirannya, selepas pasangan suami istri itu menikah.

Kini mereka harus kehilangan. Tentu sangat menyakitkan. Apalagi mereka sempat melihat anak itu tumbuh hingga remaja.

Kelebat sosoknya, senyum, tangisan, keluhan sakit, dan dialog yang pernah terjadi di antara mereka, akan jadi bayang-bayang yang tak mudah dilupakan, bahkan memilukan.

"Dia seumuran denganmu, kalau saja masih hidup, mungkin tinggi kalian sama," Ujar Ibunya, sembari memegang pipiku.

Terasa bahwa masih ada gejolak psikologi yang belum reda. Ada emosi dan kenangan yang masih bergelayut, yang kadang-kadang membuat ibu itu bersedih menitikkan air mata.

Kehilangan itu menyakitkan, apalagi kehilangan sesuatu yang selama ini dinantikan. Maka mari syukuri apa yang saat ini ada. []

Kedai MuaRa
Ahmad Fahrizal Aziz

Re-publikasi

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger dan Aktivis Literasi

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir di blog ini ya.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak