Belajar Menulis Sejarah dari Pak Ferry


Ferry Ryandika sedang memaparkan materi pada bedah buku di Aula Lantai II Dinperpusip Kota Blitar, selasa 29 April 2025. Dok/peserta


Suatu kehormatan ketika Bu Anggun dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Blitar menghubungi untuk menjadi salah satu pembedah buku Barisan yang Terlupakan, Kisah Perjuangan Kesatrian PETA di Kota Blitar karya Ferry Ryandika.


Ferry Ryandika adalah sosok yang sudah lama beredar dalam panggung sejarah, sebagai seorang pengkhidmat, peneliti dan sekaligus penulis.


Ia seorang prolificist dalam bidang sejarah, khususnya yang berkaitan dengan Blitar. 


Sejak lama, lewat forum-forum diskusi, ia muncul memberi perspektif, atau wawasan terkini yang berkaitan dengan isu-isu sejarah.


Hati, pikiran, dan kesehariannya berkutat pada sejarah. Secara formal, ia seorang guru sejarah. Penjiwaannya dalam bidang sejarah tak lagi diragukan.


Ia memenangkan lomba kepenulisan buku konten lokal Blitar tahun lalu, dan karyanya berhak untuk diterbitkan, sekaligus dibedah.


Saya diminta mengomentari aspek teknisnya; PUEBI, dan rasa lokalitas. Pembedah satunya yaitu Pak Septian Dwita Kharisma, bertugas mengelaborasi aspek kesejarahannya.


Ada catatan khusus untuk saya: tolong membedahnya diperhalus, artinya tidak terkesan "membantai". Mungkin kejadian serupa pernah terjadi.


Kebetulan, saya tidak pandai membantai karena memang tidak menganut "mazhab" tersebut, apalagi untuk seorang penulis sekaliber Pak Ferry.


Tugas saya memang hanya membedah, tidak spesifik untuk kritik buku. Artinya bisa melakukan apresiasi buku, menyetel diri sebagai komentator-penikmat bacaan-bacaan sejarah.


Kadang alur metode saya belajar sejarah berawal dari membaca esai-esai sejarah, lalu menelusur artikel atau publikasi sejarah (resmi).


Esai sejarah sudah dibumbui oleh persepsi, kadang juga terselip spekulasi, itulah sisi menariknya membaca esai sejarah.



Berbeda dengan artikel dan atau publikasi sejarah yang musti obyektif, berbasis data fakta.


Meskipun sejarawan senior seperti Prof. Dr. Taufik Abdullah memberi kelonggaran pada tafsir sejarawan atas sejarah yang ditelitinya, yang tentu berbeda dari tafsir bebas penikmat sejarah.


Siapapun bisa menulis esai sejarah, atau esai yang punya muatan sejarah, sekalipun ia seorang wartawan. Titik awalnya bisa dari peristiwa atau figur yang sekaligus pelaku sejarah.


Buku Pak Ferry harus diapresiasi sebagai bentuk publikasi yang memperkaya khazanah kesejarahan di Blitar.


Buku tersebut menyajikan cukup banyak referensi, juga istilah-istilah yang ditulis sangat tepat dan teliti meski banyak repetisi.


Disarankan, sebelum membaca, untuk mempelajari beberapa istilah/nomenklatur berbahasa Jepang dalam organisasi militer PETA, agar mudah mengikutinya.


Meskipun buku sejarah kadang harus dibaca beberapa kali agar bisa memahami, kecuali jika sebelumnya sudah memiliki wawasan dasar terkait sejarah yang sedang dibahas.


Istilah-istilah asing tersebut harus sesuai dengan redaksi aslinya agar tidak mengubah konteks, walaupun untuk beberapa istilah sudah tersedia padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.


Pak Ferry juga melengkapi buku dengan cerita masa kecil, memunculkan aspek personalitas, dan kutipan lagu berbahasa Jawa yang menggambarkan realitas masa itu.


Usaha agar buku sejarah yang formal menjadi lebih cair, sebab segmen pembacanya umum, tidak semuanya civitas akademika.


Ini menjadi tantangan bagi seorang penulis untuk menyajikan diksi populer tanpa mengurangi sakralitas ilmiahnya. Menjembatani hasil riset ilmiah ke masyarakat umum.


Bukan hal mudah, sebab meneliti dan menulis adalah dua pekerjaan yang masing-masing memerlukan energi, pun dengan menyunting.


Beberapa yang hadir dalam bedah buku tersebut adalah Guru Bahasa Indonesia, yang tentu lebih menguasai tata bahasa. Maka percakapan terkait kalimat majemuk dan kalimat efektif sengaja tidak saya munculkan, apalagi tanda baca.


Mungkin masih bisa dibuat lebih padat, lugas dan populer, meski secara umum sudah enak dibaca, dan bukankah itu alasan kenapa kita harus disiplin pada pedoman ejaan?


Kesalahan teknis dalam sebuah karya adalah hal lumrah, apalagi di era kecerdasan buatan, justru menunjukkan jika karya ini memang dibuat olah manusia.


Suasana Perpustakaan Kota Blitar. Dok/pribadi

Buku Pak Ferry masih bisa diperkaya dengan menambahkan konteks global, posisi Jepang saat itu dalam percaturan Internasional, juga sudut pandang tokoh bangsa yang kala itu dianggap dekat dengan Jepang, seperti diantaranya, Bung Karno.


Menariknya, buku ini lebih banyak mengambil sudut pandang/POV dari Shodanco Moeradi.


Selama ini ketika menyebut PETA, yang terlintas adalah nama Soeprijadi dengan segala misteri yang meliputinya.


Buku ini layak dibaca, meski tidak diperjualbelikan karena diterbitkan oleh Dinperpusip, namun masih bisa membacanya di Perpustakaan Kota Blitar yang gedungnya nyaman dan megah. []


Tabik,

Ahmad Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak