Cinta dan Debu Keabadian


“Untuk melihat keindahan Laila, engkau memerlukan mata Majnun.”


Inilah untaian sebuah legenda, jawaban yang melintasi abad, terucap dari bibir seorang pecinta yang dunianya telah lebur ke dalam satu nama. 


Kalimat itu adalah manifesto suci untuk memasuki sebuah dunia di mana cinta bukanlah emosi, melainkan satu-satunya realitas; di mana kegilaan adalah bentuk kewarasan tertinggi; dan di mana padang gurun yang fana bisa menjadi panggung bagi wahyu yang abadi. 


Inilah dunia Laila dan Majnun, sebuah wiracarita yang denyutnya masih terasa di bawah lapisan debu zaman, bergetar dari jantung Jazirah Arab hingga ke relung jiwa para pencari di seluruh dunia.


Kisah ini berakar dari Wilayah Najd pada abad ke-7 Masehi, sebuah dataran tinggi di jantung Arab Saudi modern. 


Di sini, matahari adalah penguasa mutlak, menuangkan cahayanya yang membakar ke atas lautan pasir tak bertepi. 


Angin melolong, membawa serta lagu-lagu kesunyian dan butiran pasir yang mengikis bebatuan. 


Di tengah lanskap inilah Kabilah Banu 'Amir menancapkan tenda-tenda mereka, hidup dalam sebuah tatanan sosial yang diikat oleh dua pilar keramat: kehormatan (syaraf) dan kata (sya’ir).


Dalam kultur ini, kata memiliki kekuatan sihir. Seorang penyair adalah juru bicara, sejarawan, sekaligus pembela martabat kaumnya. 


Namun, kehormatan adalah segalanya. Ia lebih berharga dari nyawa, lebih dijaga dari harta. 


Sebuah aib yang menimpa seorang anggota keluarga adalah luka bagi seluruh kabilah. Dalam rahim kultur sosial yang tegang inilah, benih cinta Qays ibn al-Mulawwah dan Laila al-Aamiriya mulai bersemi. 


Di bangku sekolah (maktab), di antara renyai hafalan dan tatapan polos, cinta mereka tumbuh murni laksana mata air di tengah gurun.


Namun, cinta Qays adalah badai. Ia tak mampu membendungnya dalam bejana kesopanan. Ia meneriakkan nama Laila dalam syair-syairnya, mengukir namanya di setiap sudut yang ia lewati. 


Baginya, itu adalah puja-puji. Bagi masyarakatnya, itu adalah skandal. Dengan mengumbar cintanya secara terbuka, Qays telah melanggar tabu, mencoreng kehormatan keluarga Laila. 


Maka, masyarakat pun memberinya gelar baru, sebuah vonis yang akan melekat selamanya: Majnun, si orang gila. 


Pinangannya ditolak, dan Laila, sang kekasih hati, dipaksa menjadi lilin di pesta pernikahan orang lain, tersenyum di luar, namun jiwanya meleleh dalam nestapa sunyi.


Di sinilah kisah mereka terbelah. Laila menjadi tawanan dalam sangkar emas adat, sementara Majnun memilih pengasingan. Ia melarikan diri ke padang gurun (Al-Badiyah), sebuah dunia tanpa aturan manusia. 


Gurun yang menjadi simbol keterasingannya, ironisnya, justru menjadi ruang kebebasannya. Di sanalah, di tengah keheningan yang memekakkan, cintanya bermetamorfosis. 


Ia tak lagi merindukan Laila sang gadis dari kabilah, melainkan Laila sebagai manifestasi Keindahan Absolut. 


Ia melihat mata Laila pada kijang yang melintas, wajahnya pada purnama, dan kehadirannya pada setiap hembusan angin. Seluruh alam menjadi cermin yang memantulkan wajah kekasihnya.


Legenda yang lahir dari seorang penyair historis di era Kekhalifahan Umayyah ini pada awalnya adalah cerita tutur dari mulut ke mulut. 


Ia adalah kisah tragis yang dinyanyikan para pengembara. Namun, lima abad kemudian, di tanah Persia, seorang arsitek sastra agung bernama Nezami Ganjavi mengambil legenda mentah ini dan membangunnya menjadi sebuah katedral puitis yang menjulang ke langit.


Nezami menuangkannya ke dalam bentuk Masnavi, puisi berbait dua baris dengan rima yang terus berganti (AA, BB, CC). Bentuk ini, laksana aliran sungai yang tenang namun kuat, sempurna untuk membawa narasi epik (Hamāseh) yang panjang dan mendalam. 


Di tangan Nezami, kisah cinta ini diresapi dengan napas mistisisme Sufi. Penderitaan Majnun menjadi alegori kerinduan jiwa manusia kepada Sang Pencipta.


Melalui syair-syair Nezami-lah, kita mendengar rintihan paling syahdu dari jiwa Majnun. Saat ayahnya membawanya ke Makkah untuk memohon kesembuhan, Majnun justru memegang tirai Ka’bah dan berdoa agar cintanya diperkuat. 


Saat seseorang memanggil namanya, ia abai, namun saat nama "Laila" diserukan, ia menjawab, "Aku adalah Laila." 


Inilah puncak fana, peleburan diri, di mana sang pecinta telah lenyap ke dalam yang dicinta. 


Devosinya begitu total hingga ia menciumi kaki anjing kurus hanya karena anjing itu datang dari arah perkampungan Laila; debu di kakinya adalah relikui suci.


Tempat-tempat menjadi saksi bisu. Gunung Tubad (Jabal al-Tawbad), bukit berbatu di selatan Riyadh itu, selamanya akan menyimpan gema tawa dan janji dua anak manusia yang belum mengenal pedihnya dunia. 


Namun, pada akhirnya, hanya ada satu lokasi yang tersisa, satu titik pertemuan terakhir: makam Laila.


Kematian bagi mereka bukanlah akhir, melainkan pemenuhan. Ia adalah pernikahan sejati (‘urs) yang tak pernah bisa mereka rayakan di dunia. 


Ketika jasad Majnun ditemukan terkulai di atas pusara kekasihnya, dengan sebaris puisi terakhir tergurat di batu, itu adalah adegan penutup yang paling agung. 


Sang pecinta telah pulang. Jiwanya yang mengembara telah menemukan dermaga abadinya.


Hingga hari ini, lebih dari seribu tahun kemudian, kisah Laila Majnun berhasil melampaui segala batasan: batas sosial, batas fisik, batas kewarasan, dan bahkan batas kehidupan itu sendiri. 


Ia adalah cermin bagi kerinduan paling purba dalam diri kita, kerinduan untuk mencintai sesuatu dengan begitu total, hingga diri kita sendiri tak lagi penting, dan yang tersisa hanyalah Cinta itu sendiri. []


Tabik,

Jurnalrasa.my.id

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak