“Potensi sebuah biji kopi adalah hal yang luar biasa, tapi itu hanyalah potensi. Dibutuhkan kerja keras yang sangat besar untuk mengubahnya menjadi minuman yang kita cintai.”
![]() |
Dok. Harri Gieb |
Kalimat pembuka dari James Hoffmann adalah mantra yang menjadi denyut jantung bagi mahakaryanya, “The World Atlas of Coffee”.
Ia menyusun sebuah grimoire, peta harta karun yang mengundang penikmat kopi untuk memulai sebuah pelayaran.
Buku itu mengubah secangkir kopi dari sekadar minuman menjadi sebuah destinasi. “The World Atlas of Coffee” adalah sebuah monumen pengetahuan, sebuah alkimia yang mengubah rasa ingin tahu menjadi pemahaman.
Hoffmann, sang alkemis modern, membaginya menjadi tiga babak agung. Babak pertama adalah pengenalan biji kopi.
Ia menjabarkan rahasia tentang anatomi buah ceri yang mungil, tentang silsilah agung varietas Arabika dan Robusta, dan yang terpenting, tentang ritus-ritus pascapanen; proses basah, kering, dan madu.
Babak kedua adalah jantung dari grimoire ini, Sang Atlas. Sebuah perjalanan epik melintasi sabuk kopi dunia, dari pegunungan Andes di Kolombia hingga lembah-lembah subur di Rwanda.
Babak ketiga adalah ritualnya, yaitu seni penyeduhan. Sebuah panduan untuk menjadi partisipan aktif dalam keajaiban, bukan sekadar penikmat pasif.
Di antara konstelasi bintang-bintang kopi yang dipetakan Hoffmann dengan begitu teliti, sang atlas menyorot satu gugusan kepulauan yang gemerlapnya begitu purba dan liar, yaitu Indonesia.
Hoffmann tidak melukis Indonesia dengan satu sapuan kuas. Ia mempersembahkan sebuah diorama yang hidup, sebuah pengakuan bahwa Nusantara adalah sebuah benua rasa tersendiri.
![]() |
Bab khusus tentang Indonesia. Dok/Harri Gieb |
Perhentian pertama dan yang paling khusyuk adalah Sumatra. Hoffmann menggambarkan pulau ini sebuah karakter tua, muram, dan penuh kekuatan.
Ia mendedikasikan halaman-halaman penting untuk menjelaskan jiwa dari kopi Sumatra, termasuk metode Giling Basah.
Sebuah tarian arkais dengan iklim yang lembap. Sebuah ritus di mana biji kopi yang separuh basah, dengan jiwa yang masih bergejolak, dilepaskan dari cangkang perkamennya.
Hasilnya, seperti yang digambarkan Hoffmann, adalah sebuah profil rasa body “seberat” sirup, keasaman yang bersembunyi di balik tirai, dan palet rasa yang membangkitkan aroma hutan setelah hujan—tanah basah (earthy), lumut, tembakau pipa, dan cedar.
Inilah rasa yang mendefinisikan kopi eksotis bagi banyak orang di Barat, sebuah tanda tangan Indonesia yang tak bisa dipalsukan.
Lalu, kompas Hoffmann bergeser ke timur, ke tanah Jawa, tempat di mana sejarah kolonial masih bercokol di antara perkebunan-perkebunan tua di lereng Ijen seperti Blawan dan Dampit.
Hoffmann menghormati sejarah ini. Ia menceritakan bagaimana Jawa adalah titik nol penyebaran kopi di kepulauan, dan bagaimana kopi dari tanah ini memiliki postur yang berbeda.
Jika Sumatra adalah seorang pertapa liar, maka Jawa adalah seorang bangsawan tua yang anggun.
Kopinya lebih bersih, keasamannya lebih terstruktur, seringkali hasil dari proses cuci penuh yang kontras dengan Giling Basah.
Buku ini seakan mengatakan bahwa di Jawa, kopi belajar tentang keseimbangan dan kehalusan.
Namun pelayaran di Nusantara tidak berhenti di sana. Atlas ini membawa kita lebih jauh, ke Sulawesi, di mana kopi Toraja dipersembahkan dengan profil yang megah dan seimbang, laksana sebuah upacara.
Ia menyentuh Bali, dengan sistem Subak Abian, melahirkan kopi dengan sentuhan sitrus yang lembut.
Lalu ke Flores, pulau yang berarti ‘bunga’, yang menyajikan kopi dengan rasa manis yang kaya, seolah menjaga harta karun naga di dalam setiap bijinya.
Melalui lensa Hoffmann, Indonesia adalah sebuah kaleidoskop, mosaik terroir yang tak ada habisnya, di mana setiap pulau adalah sebuah bait dalam puisi kopi yang dramatis.
Lalu, mengapa buku ini begitu fundamental bagi dunia? Apa yang membuatnya lebih dari sekadar panduan yang indah?
Pentingnya “The World Atlas of Coffee” terletak pada perannya sebagai Revolusi Demokratis.
Sebelum buku ini menjadi ‘kitab suci’ bagi para pencinta kopi, pengetahuan mendalam tentang asal-usul, varietas, dan proses adalah milik segelintir elite: para importir biji hijau, para master roaster, dan para juri kompetisi.
Hoffmann meruntuhkan tembok itu. Ia mengambil pengetahuan yang rumit dan eksklusif, lalu menyajikannya dengan cara yang elegan dan mudah diakses oleh siapa pun.
Seorang barista pemula di Blitar, seorang penyeduh rumahan di Jakarta, atau seorang penikmat kopi di New York, kini memiliki bahasa yang sama.
Buku ini menciptakan sebuah leksikon universal, sebuah fondasi pengetahuan bersama yang melahirkan gelombang ketiga kopi (Third Wave) di seluruh dunia.
Lebih dari itu, signifikansi terbesarnya adalah sebagai Jembatan Aromatik. Atlas ini mampu menghubungkan dua dunia yang terpisah jauh: dunia konsumen dan dunia produsen.
Ketika seseorang di belahan bumi lain membaca tentang Giling Basah, mereka tidak hanya belajar teknik. Mereka merasakan kelembapan iklim Sumatra; mereka membayangkan tangan-tangan petani yang bekerja di bawah langit yang tak menentu.
Ketika mereka membaca tentang kopi dari dataran tinggi Gayo atau lereng Ijen, nama-nama itu berhenti menjadi sekadar label eksotis di kantong kopi.
Nama itu menjadi sebuah tempat yang nyata, dihuni oleh orang-orang nyata yang mata pencahariannya bergantung pada potensi di dalam biji kopi tersebut.
Buku ini menanamkan empati dalam setiap seduhan. Ia mengubah tindakan konsumsi menjadi sebuah koneksi.
Ia adalah pengingat hening bahwa kopi yang kita nikmati adalah bab terakhir dari sebuah kisah panjang yang dimulai dari tanah, kerja keras, dan tradisi.
Pada akhirnya, kembali ke kutipan awal, “The World Atlas of Coffee”. Sebuah ajakan untuk tidak hanya meminum kopi, tetapi untuk berpartisipasi dalam mewujudkan potensinya yang luar biasa.
Ia adalah warisan James Hoffmann bagi dunia, sebuah deklarasi bahwa di dalam setiap biji kopi, tersimpan sebuah dunia yang menunggu untuk dijelajahi. []
Tabik,