Iran (Masa Lalu)

Reruntuhan Persepolis. Dok/The Lost Book Project


Dalam lembaran sejarah dunia, Kekaisaran Persia terpatri sebagai salah satu kekuatan terbesar dan paling berpengaruh yang pernah ada. 

Pada puncaknya, di bawah kepemimpinan Cyrus Agung, Darius I, dan Xerxes, Kekaisaran Akhemeniyah membentang dari dataran Asia Tengah hingga pesisir Laut Tengah, dari pegunungan Kaukasus hingga lembah subur Sungai Nil. 

Sebuah kekaisaran yang mencengangkan karena luas wilayahnya, serta kecemerlangannya dalam mengelola keragaman dan merangkai jaringan budaya yang pengaruhnya masih terasa dalam peradaban kita hari ini.

Panggung Sejarah yang Megah

Lindsay Allen, dalam bukunya The Persian Empire, membawa pembaca menjelajahi kejayaan Persia Kuno dengan lensa yang cermat dan bersahaja. 

Allen menegaskan bahwa kejeniusan Persia tidak terletak pada penaklukan brutal, melainkan pada keahlian mereka dalam merajut keberagaman menjadi kekuatan bersama. 

Sistem pemerintahan berbasis "satrapi" (gubernur provinsi yang mengelola wilayah luas di bawah pengawasan pusat) menjadi cikal bakal banyak model administrasi kekaisaran di masa depan, dari Romawi hingga kekaisaran modern.

Persepolis, ibu kota megah yang didirikan oleh Darius I, menjadi pusat administrasi sekaligus etalase yang menampilkan harmoni keberagaman. 

Relief dinding Persepolis menggambarkan utusan-utusan dari berbagai bangsa seperti Armenia, Babilonia, Mesir, Skithia, Lydia, Media, masing-masing dengan busana dan persembahan khas, berjalan dalam prosesi damai menuju Raja Segala Raja. 

Di antara pilar-pilar batu yang menjulang itu, narasi Persia tentang dunia yang tertib dan harmonis di bawah panji kekaisaran disampaikan tanpa kata-kata.

Toleransi dan Kebijakan Kemanusiaan

Salah satu warisan paling menggetarkan dari Persia adalah sikapnya terhadap agama dan budaya lokal. 

Cyrus Cylinder, yang sering disebut sebagai "deklarasi hak asasi manusia tertua", mencatat bagaimana Cyrus Agung memulihkan kebebasan beragama dan mengembalikan bangsa-bangsa yang diasingkan ke tanah air mereka. 

Kaum Yahudi, yang dipulangkan dari penawanan Babilonia, masih mengenang Cyrus dalam doa dan sejarah mereka.

Dalam dunia yang sering dicengkeram intoleransi, kebijakan Persia memberi pelajaran tentang bagaimana kekuasaan bisa berpijak pada penghormatan, bukan pemaksaan.

Zoroastrianisme, agama resmi kekaisaran, memperkenalkan konsep-konsep moral dualistik: kebaikan melawan kejahatan, cahaya melawan kegelapan, yang kemudian merembes ke dalam teologi Yudaisme, Kristen, dan Islam. 

Gagasan tentang surga dan neraka, pengadilan akhir, banyak yang berakar dari benih pemikiran Persia kuno.

Sementara itu, sistem jalan raya Kekaisaran Persia, terutama Royal Road, mempercepat komunikasi dan perdagangan, mengilhami konsep logistik dan infrastruktur modern. 

Karpet Persia yang megah, arsitektur monumental, dan puisi Persia klasik karya Rumi, Hafez, Ferdowsi, masih menyirami jiwa manusia di seluruh dunia.

Di banyak negara yang dahulu berada di bawah panji Persia (Iran, Irak, Suriah, Lebanon, Israel, Palestina, Yordania, Afghanistan, Pakistan, Armenia, Azerbaijan, Georgia, Turki, Mesir, hingga sebagian Balkan) pengaruh budaya Persia tetap terpatri dalam seni, bahasa, dan tradisi.

Buku ini membawah roh Kekaisaran Persia sebagai kegemilangan dari masa lalu. 

Bagaimana mungkin sebuah kekaisaran kuno memahami bahwa pengelolaan keberagaman lebih berdaya daripada penyeragaman paksa? Bahwa kekuatan yang sejati terletak pada pengakuan, bukan penghapusan identitas?

Hari ini, saat wacana global kembali dibayangi oleh konflik dan supremasi, jejak Persia mengingatkan kita bahwa kemegahan peradaban terbangun dari fondasi yang inklusif. 

Festival Nowruz, yang hingga kini dirayakan di Iran dan Asia Tengah, jangan hanya diartikan sebagai selebrasi pergantian musim, melainkan perayaan kehidupan bersama dalam keberagaman.

Lindsay Allen dalam The Persian Empire seolah mengajukan cermin bagi masa kini. Dari Persepolis yang runtuh namun abadi, dari relief batu yang masih berbisik tentang harmoni, kita diajak merenungi bahwa warisan sejati kekuasaan adalah keberanian untuk merangkul perbedaan.

Sejarah Persia Kuno bukan hanya milik Iran atau Asia Barat. Ia adalah warisan dunia, warisan yang layak kita pelajari, hayati, dan bawa ke dalam percakapan peradaban masa depan.

Tabik,


Lindsay Allen adalah seorang sejarawan dan arkeolog yang mengkhususkan diri dalam sejarah Kekaisaran Persia Kuno. Saat ini ia mengajar sebagai Senior Lecturer in Greek and Near Eastern History di King's College London. Buku The Persian Empire, yang diterbitkan oleh British Museum Press pada tahun 2005, merupakan salah satu karya terkenalnya yang memperkenalkan kekayaan sejarah dan budaya Persia kepada khalayak luas.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak