Karena membahas tentang kopi, saya pun mendaftar acara Literasi Kopi di Perpustakaan Bung Karno (16-17/06/25).
Ini pertama kalinya mengikuti agenda literasi TPBIS (Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial) sebagai peserta.
Selain karena acaranya hanya 2 hari, biasanya 3 hari. Cukup kompromistik untuk meliburkan diri sembari fokus "mengisi cangkir kosong".
Saya penikmat kopi, persisnya sejak tahun 2014. Namun jangan dibayangkan penikmat idealis.
Kopi pertama yang saya kenal adalah kopi sachet, atau kopi hitam bubuk yang ditambah gula sesuai selera.
Seiring bertambahnya pengetahuan tentang kopi, ada peningkatan, beli bean (biji kopi) digiling sendiri dengan alat murah, lalu diseduh di rumah.
Tidak telaten tiap kali ngopi harus menggiling sendiri, lalu beli kopi bubuknya saja, langsung dari toko kopi. Agak mahal, setidaknya jika dibandingkan kopi kemasan.
Karena harus berhemat, maka kembali ke kopi bubuk, merk tertentu, favorit saya adalah Brontoseno. Hingga sekarang.
Lalu teknik seduh apa yang menjadi favorit? Tubruk tetap paling nikmat, meski itu teknik paling tradisional disamping Ibrik (kopi direbus bersamaan dengan air).
Semua sudah dicoba, mulai V60, Vietnam Drip, Aeropress dll. Termasuk varian Espresso.
Tubruk tetap paling nikmat, mungkin karena Kopi Tubruk paling cocok ditambah gula. Juga bisa dipraktekkan di dapur sendiri, tanpa perlu alat.
Dulu selepas liputan, saya biasa mampir di kedai kopi, ada beberapa alat modern di kedai tersebut, biasanya memesan Latte.
Harga secangkirnya belasan ribu, terbilang mahal, namun suasana kedai itu nyaman untuk mengerjakan tugas liputan.
Kopi Latte dipilih sebab kopi hitam yang tersedia hanya Americano, dan ketika ditambah gula rasanya kurang serasi.
Latte menjadi pilihan tepat sebab ada campuran susu, dan sudah manis.
Suatu ketika saya meliput acara yang membahas kopi di Malang, mereka menjelaskan jenis-jenis biji kopi. Ingatan saya kembali ke buku Filosofi Kopi karya Dee Lestari.
Buku tersebut termasuk di antara deretan karya fiksi yang turut memperkenalkan tradisi ngopi.
Meski dalam buku tersebut jawaranya adalah Kopi Tiwus yang diseduh dengan teknik tubruk.
Nikmatnya kopi bergantung pada banyak hal: kualitas tanaman, pemilahan biji kopi, proses sangrai, saat menggiling (kasar, halus, sedang), baru saat menyeduhnya.
Jadi, Tiwus yang hanya ditubruk bisa senikmat itu karena berbagai alasan di atas. Semua proses sangat terkait.
Namun obrolan tentang kopi pada sesi tersebut justru membuat saya berjarak dengan kopi, ketika ada yang berkata: penikmat kopi sejati tidak mungkin "berselingkuh" dengan gula.
Ternyata saya hanyalah penikmat kopi pinggiran yang sulit menemukan nikmatnya espresso, americano atau teknik seduh pour-over lainnya.
Lidah saya terlanjur mesra dengan bubuk kopi yang disiram air panas, diaduk dengan gula, diminum setelah perendaman.
Kopi tubruk juga paling cocok diminum setelah makan. []
Tags:
cerpri