Perjalanan Zinda-Rud



Pada cakrawala pemikiran abad ke-20, dunia dirajam gemerlap materialisme dan bayang-bayang kolonialisme.


Sesosok jiwa dari Sialkot menengadah ke langit, tidak dengan kepasrahan, melainkan dengan sebuah pertanyaan yang membara. 


Dialah Muhammad Iqbal, sang penyair-filsuf yang puisinya menjadi gema dari sebuah kegelisahan eksistensial. 


Ia adalah penjelajah yang merindukan dialog dengan Yang Abadi, dan untuk itu, ia menempuh sebuah perjalanan transenden yang terilhami dari peristiwa paling agung dalam spiritualitas Islam, Isra’ Mi'raj.


Mi'raj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah arketipe, sebuah perjalanan vertikal menembus selubung kosmik menuju Hadirat Ilahi. 


Ia adalah penegasan bahwa antara manusia dan Penciptanya, ada sebuah kemungkinan dialog yang melampaui batas ruang dan waktu. 


Peristiwa inilah yang menjadi cetak biru spiritual bagi Iqbal. Dalam dunia yang terasa semakin sekuler dan sunyi dari wahyu, Iqbal melihat Mi'raj sebagai kunci, sebuah bukti bahwa surga tidak pernah benar-benar menutup pintunya bagi jiwa yang mencari.


Kegelisahan dan kerinduan inilah yang melahirkan Javid Nama, atau "Kitab Keabadian", sebuah mahakarya puitis yang menjadi Mi'raj personal bagi Iqbal. 


Jika Mi'raj Nabi adalah peristiwa sakral yang otentik, maka Javid Nama adalah gema artistik dan filosofisnya, sebuah upaya manusia modern untuk menapaki kembali jejak perjalanan ruhani itu. 


Di sini, Iqbal menjelma menjadi "Zinda-Rud" (Sungai yang Hidup), seorang musafir ruhani yang berkelana melintasi tangga-tangga semesta.


Namun, ia tidak sendiri. Sebagaimana Dante memerlukan Virgil, Zinda-Rud dibimbing oleh ruh mahaguru sufi, Jalaluddin Rumi. 


Bersama Rumi, perjalanannya menjadi sebuah dialog lintas zaman. Mereka tidak hanya melintasi ruang angkasa, dari langit Bulan hingga Saturnus, tetapi juga melintasi ruang-ruang pemikiran manusia. 


Setiap planet adalah sebuah panggung di mana Iqbal mempertemukan ruh para nabi, filsuf, tiran, dan para martir.


Di Langit Merkurius, ia menggelar pengadilan atas ideologi-ideologi besar. Bersama Jamaluddin al-Afghani, ia menggugat kegagalan dunia Timur dan mengkritik Kapitalisme serta Komunisme Barat yang dianggapnya membangun istana tanpa jiwa. 


Perjalanan berlanjut, bertemu dengan ruh-ruh pemberontak seperti Al-Hallaj di Langit Jupiter, yang keberanian spiritualnya dikagumi Iqbal. 


Lalu, ia menatap dengan pedih ruh para pengkhianat bangsanya di Langit Saturnus, sebuah refleksi pahit atas luka sejarah kolonialisme.


Puncak perjalanannya adalah ketika ia melampaui batas tata surya. 


Di sana, ia berdialog dengan ruh Nietzsche, filsuf yang ia anggap nyaris mencapai kebenaran tentang kekuatan manusia namun tersesat dalam lorong ateisme, seorang nabi tanpa Tuhan. 


Akhirnya, dalam keheningan yang paling agung, Zinda-Rud mencapai Hadirat Ilahi. 


Puncak Mi'raj puitisnya ini bukanlah dialog tanya-jawab yang gamblang, melainkan sebuah penyingkapan, di mana jiwa yang bertanya akhirnya lebur dalam Jawaban itu sendiri.


Lantas, apa buah dari perjalanan agung ini? Iqbal tidak kembali dengan membawa cerita fantasi. Ia kembali dengan sebuah pesan yang menjadi jantung seluruh filsafatnya: Khudi, atau pengembangan "Diri". 


Perjalanan ke langit ternyata adalah sebuah perjalanan untuk menemukan potensi terdalam di dalam diri. 


Mi'raj dalam kacamata Iqbal mengajarkan bahwa manusia bukanlah debu yang pasif di hadapan takdir. Ia adalah percikan ilahi yang ditakdirkan untuk menjadi mitra Tuhan dalam menyempurnakan ciptaan.


Dalam satu baitnya yang paling masyhur, Iqbal merangkum seluruh esensi perjalanannya:


"Khudi ko kar buland itna ke har taqdeer se pehle, Khuda bande se khud pooche, 'Bata, teri raza kya hai?'"


"Tinggikanlah Dirimu sedemikian rupa, hingga sebelum setiap takdir ditetapkan, Tuhan sendiri bertanya pada hamba-Nya, 'Katakan, apa kehendakmu?'"


Inilah warisan Iqbal dan Javid Nama. Ia tidak hanya menulis puisi; ia melukis sebuah peta bintang bagi jiwa modern yang kehilangan arah. 


Ia mengingatkan kita bahwa Mi'raj bukanlah peristiwa yang terkunci dalam sejarah, melainkan sebuah panggilan abadi bagi setiap insan untuk melakukan perjalanan ke dalam dirinya, meninggikan potensinya, hingga ia layak untuk berdialog dengan semesta dan Penciptanya. 


Javid Nama adalah bukti liris bahwa, bahkan di tengah hiruk pikuk zaman, langit masih setia mendengarkan jiwa yang berani bertanya. []


Tabik,

Jurnalrasa.my.id

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak