Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Adakah Kyai yang Suka Nonton Sound Horeg?

Fatwa adalah produk pikiran

Sumber foto: kelumajang.com


Ulama kerap berselisih soal fatwa, termasuk tentang sound horeg yang belakangan ramai diperbincangkan.


Dulu, Ulama juga berbeda pandangan terkait fatwa haram rokok, perdebatannya hampir sama, cuma beda konteks.


Misal, apakah rokok haram karena komposisinya? Atau dampaknya? Atau perilakunya? Atau semuanya?


Ada pandangan bahwa merokok adalah perilaku yang sia-sia, boros, bakar uang semata, disebutnya tabdzir.


Padahal uang tersebut bisa untuk membeli barang yang lebih bermanfaat.


Beli susu untuk anak, beli telur untuk kebutuhan protein atau beli buah untuk kesehatan tubuh.


Lantas terkait sound horeg, apa yang haram? Soundnya, volumenya atau perilaku yang mengiringinya?


Wajar, fatwa selalu debatable, sebab itu adalah "produk pikiran".


Jika haram karena soundnya, maka semua kegiatan yang menggunakan sound system juga (harusnya) haram.


Jika haramnya karena volume yang berpotensi merusak pendengaran, maka turunkan saja volumenya biar jadi halal. 


Tetapi, kalau volumenya diturunkan, tidak lagi disebut "horeg" dong?


Kalau haram karena perilaku yang mengiringinya, misal ada goyangan syahwat, minuman keras dll, maka itunya saja yang ditiadakan.


Setiap jawaban atas pertanyaan di atas selalu menyelipkan celah bantahan. Wajar, sebab fatwa--sekali lagi--adalah produk pikiran.


Tokoh agama, tanpa menyebut nama, yang tidak mendukung keharaman sound horeg, umumnya adalah Da'i podium.


Tidak semua Ulama sekaligus Da'i podium, lebih banyak di antara mereka yang hanya berkhidmat di kelas-kelas kecil pesantren atau madin. Jauh dari gegap gempita sound-sound nan.


Maka, mari kita analisis lagi mana tokoh agama yang mengharamkan sound horeg dan yang bersikap lebih permisif.


Latar belakang keduanya sangat penting dibaca secara sosiologis. Kira-kira kita akan menjadi barisan pendukung yang mana?


Terlepas dari perdebatan di atas, tentu ada pertanyaan penting yang perlu kita munculkan: kenapa sampai keluar fatwa? Kenapa Ulama harus melakukan istimbatul Hukmi?


Pasti tidak tiba-tiba Ulama menjadikan ini topik pembahasan. Ada latar belakangnya, ada kegelisahan, ada realitas yang perlu disikapi.


Keputusan "haram" itupun tentu juga mengagetkan, langsung mengambil hukum maksimal. Bisa jadi ini bagian dari strategi komunikasi publik.


Bayangkan andai dihukumi makruh, mungkin tidak akan seheboh ini, tidak akan menjadi perdebatan.


Konskwensinya adalah, pasti akan ada pihak yang menentang, tak menutup kemungkinan dari sesama tokoh agama.


Apalagi, dari pengusaha dan penikmat sound horeg.


Mustahil karena muncul fatwa haram, maka pengusaha sound horeg langsung menutup usahanya, atau penikmat sound horeg langsung hijrah.


Sebagai produk pikiran, memang begitulah cara kerja fatwa. Fatwa bukan produk hukum yang mengikat. Fatwa adalah opini yang bersifat opsional.


Produk pikiran yang dilempar ke publik pasti akan mengganggu pikiran, dan berhasil.


Karena fatwa itu, orang jadi berpikir. Ada yang berpikir jika fatwa itu benar, ada pula yang sebaliknya.


Sekarang, fatwa itu juga sedang mengusik pejabat-pejabat daerah, ada yang langsung membuat aturan pelarangan, ada pula yang belum.


Terkait tokoh agama yang melakukan serangan balik atas fatwa haram tersebut, memang sah-sah saja, itu bagian dari dialektika fiqih.


Cuma sangat disayangkan jika ini malah jadi perang antar tokoh agama yang mungkin, dua-duanya, tidak menyukai sound horeg.


Apa ada Kyai yang suka nonton sound horeg?

Realitas
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.