Notifikasi
Tidak ada notifikasi baru.

Apakah Ayah Merindukanku?

Hanby sejak kecil tinggal di Panti Asuhan


Hanby tak pernah benar-benar tahu bagaimana rupa ayahnya. 

Bahkan, ketika ia mencoba mengais-ngais ingatan masa kecilnya, yang tertinggal hanyalah bayangan samar: seorang lelaki dengan suara berat yang menunduk sebentar di ranjang tempat ibunya sakit, lalu hilang begitu saja dari hidupnya.

Sejak usia empat tahun, Hanby dititipkan di Panti Asuhan. Ibunya telah pergi untuk selamanya, dan sang ayah—darah dagingnya sendiri—menghilang dengan janji kosong. 

Janji yang hanya tersisa sebagai gema samar.

“Aku akan menjengukmu setiap bulan.”

Tapi bulan demi bulan lewat, tahun demi tahun habis, yang datang hanyalah kesunyian.

Di sekolah, Hanby sering berdiri agak jauh dari kerumunan. Ia memperhatikan teman-temannya dijemput ayah masing-masing. 

Ada yang digendong dengan tawa, ada yang dibawakan bekal, ada pula yang sekadar digandeng tangannya dengan penuh hangat.

Hanby hanya menatap. Dalam dirinya, pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban kerap muncul.

“Apakah ayah merindukanku?”

***

Ketika remaja, Hanby menemukan pelarian pada buku. Ia berkenalan dengan suara-suara asing yang pelan-pelan menjadi sahabatnya. 

Ia membaca Nietzsche: “He who has a why to live can bear almost any how.” 

Lalu ia menutup bukunya, menatap gerimis dari balik jendela.

“Kalau alasanku hidup adalah mencari arti kehilangan ini, mungkin aku bisa menanggung segalanya,” bisiknya.

Buku-buku itu menjelma ayah dan ibu baru, membesarkannya dengan hikmah dan tanya. 

Dari Kahlil Gibran, ia belajar bahwa cinta adalah luka dan penyembuh sekaligus. Dari Rilke, ia mengingat kutipan:

Perhaps all the dragons in our lives are princesses who are only waiting to see us once beautiful and brave.

Hanby menyalin kutipan-kutipan itu di buku catatan kecilnya. Kadang ia membaca ulang, kadang ia menulis surat panjang seolah kepada ayahnya, meski tak pernah dikirimkan:

Ayah, aku tumbuh. Aku belajar. Aku berlari mengejar sesuatu yang bahkan aku sendiri tak tahu. Tapi, apakah kau sekali saja memikirkan anakmu ini?

***

Waktu terus berjalan, dan Hanby membuktikan dirinya. Anak panti yang kesepian itu kini menyandang gelar sarjana. 

Ia berhasil meraih beasiswa penuh hingga perguruan tinggi, lalu diterima sebagai Public Relation di sebuah perusahaan besar.

Ia tahu bagaimana berbicara, bagaimana mendengar, bagaimana membuat orang lain merasa dihargai. 

Dalam dunia komunikasi, Hanby seperti ikan yang kembali ke airnya—bebas berenang, bebas bernafas.

Banyak tender berhasil ia amankan untuk perusahaannya. Atasan memujinya, rekan kerja menghormatinya. 

Tapi ada ruang kosong dalam dirinya yang tetap tak terisi, seperti lubang kecil di dada yang tak pernah bisa ditambal dengan penghargaan apa pun.

Karena tiap kali melihat seorang anak kecil digandeng ayahnya di jalan, Hanby tersenyum getir. 

Pertanyaan lama itu muncul lagi, menohoknya dengan kejam.

Apakah ayah merindukanku?

***

Kini, tiap bulan Hanby rutin datang ke Panti Asuhan. Ia menjadi donatur tetap. Baginya, memberi bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan cara pulang. 

Setiap kali menjejakkan kaki di halaman panti yang dulu membesarkannya, ia merasa tanah ini adalah kampung halamannya.

“Ini rumahku, Bu Yasmin,” ucap Hanby suatu sore, menatap wajah pengasuh tua yang dulu menimangnya. 

“Aku tak punya kampung lain. Di sini aku belajar arti keluarga, meski tanpa darah yang sama.”

Bu Yasmin menatapnya dengan mata berkaca-kaca. 

“Kau anak yang baik, Hanby. Mungkin ayahmu… ah, entahlah. Tapi jangan biarkan ketiadaan dia membuatmu kehilangan dirimu sendiri.”

Hanby mengangguk. Ia pernah membaca kalimat Simone de Beauvoir.

“One is not born, but rather becomes, a human being.” 

Dan ia percaya, manusia tidak ditentukan oleh darah atau keturunan, melainkan oleh keberanian untuk tumbuh dari luka.

 ***

Pada suatu malam, Hanby duduk sendirian di kamarnya. Lampu meja menyala redup, buku-buku berserakan. Ia membuka halaman The Prophet karya Gibran, membaca perlahan.

Your children are not your children. They are the sons and daughters of Life's longing for itself.

Hanby menutup buku itu, lalu menatap langit-langit. 

“Mungkin benar, aku bukan anak ayahku. Aku anak kehidupan. Aku lahir dari kerinduan kehidupan itu sendiri,” ucapnya.

Namun, di balik penerimaan itu, ia tahu luka tetaplah luka. Rindu tetaplah rindu, meski tak pernah bertemu.

Ia sering membayangkan, bagaimana kalau suatu hari nanti ayahnya datang, mengetuk pintu, dengan wajah menua dan suara bergetar, berkata: Hanby, maafkan aku.

Apakah ia akan memaafkan? Atau hanya menatap dingin, lalu berkata: Ayah, aku baik-baik saja tanpamu.

Pertanyaan itu tak pernah menemukan jawaban, karena sang ayah tetap diam di kota yang berbeda, seperti bayangan yang hanya ia dengar tapi tak pernah ia lihat.

 ***

Di panti, suatu sore, Hanby duduk di beranda bersama beberapa anak kecil. 

Seorang bocah laki-laki memeluk lututnya, bertanya lirih.

“Kak Hanby, kenapa ayah saya nggak pernah datang?”

Hanby tercekat. Ia melihat dirinya sendiri bertahun-tahun lalu di mata anak itu. 

Perlahan, ia merangkul pundaknya dan menjawab.

“Kadang, orang dewasa tak selalu bisa jadi pahlawan seperti yang kita harapkan. Tapi bukan berarti kita tak bisa tumbuh kuat tanpa mereka.”

Bocah itu menatapnya, mata basah tapi berbinar.

Hanby menahan senyum getir. Dalam dirinya, ia tahu, jawaban itu pun sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.

***

Malam itu, sebelum tidur, Hanby menulis di catatannya:

Ayah, aku tak tahu apakah kau merindukanku. Tapi aku merindukan sebuah dunia di mana seorang anak tak perlu menunggu cinta ayahnya untuk merasa berharga. Dunia itu belum ada. Tapi aku sedang berusaha membangunnya, dimulai dari anak-anak panti ini.

Ia menutup bukunya, menatap jendela yang gelap. Lalu mengingat kalimat Albert Camus.

In the depth of winter, I finally learned that within me there lay an invincible summer.

Hanby tersenyum pelan. 

“Mungkin aku tak pernah punya musim semi bersama ayahku. Tapi dalam diriku, ada musim panas yang tak bisa dipadamkan siapa pun.”

Dan dengan itu, ia tidur. Rindu tetap ada, luka tetap ada. Tapi dari keduanya, Hanby belajar memaknai hidupnya.

Manusia bisa kehilangan banyak hal, tapi tidak pernah kehilangan kemungkinan untuk tumbuh. []

ESAI LIRIS
Gabung dalam percakapan
Posting Komentar
Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.